Palu (ANTARA News) - Aksi unjuk rasa menolak Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang digelar oleh puluhan mahasiswa di Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), yang tergabung dalam "Komite Aksi Peduli Pendidikan Rakyat (KAMPAK)" pada Rabu, nyaris diwarnai kericuhan. Awalnya, mahasiswa pendemo dari berbagai organisasi ekstra kulikuler, seperti Lembaga Mahasiswa Nasional Demokratik (LMND) dan HMI-MPO, memaksa masuk ke halaman gedung DPRD Provinsi, namun dihalangi aparat Samapta Polres Palu. Akibatnya, terjadi aksi dorong-mendorong antara massa dengan aparat kepolisian yang melakukan "pagar betis". Situasi ini tidak berlangsung lama, setelah polisi mengalah dan akhirnya membiarkan massa memasuki halaman gedung wakil rakyat tersebut. Sebelum memasuki gedung, pendemo sempat melakukan orasi di badan jalan protokol SAM Ratulangi sambil membakar ban bekas dan membagi-bagikan selebaran kepada pengguna jalan, sehingga sempat memacetkan arus lalu lintas selama beberapa saat. Massa juga meneriakkan yel-yel "Cabut dan Batalkan UU BHP", sehingga mendapat perhatian masyarakat luas. Ketegangan kembali terjadi di depan pintu masuk gedung DPRD saat massa memaksa masuk ke dalam ruang sidang utama untuk menemui anggota DPRD Sulteng yang begitu lama menerima mereka. Di sini, terjadi lagi aksi saling dorong antara massa pengunjuk rasa dengan aparat dari satuan polisi pamongpraja. Ketegangan itu baru reda setelah dua anggota DPRD Sulteng yakni Armin Latjangki selaku Ketua Komisi Kesra dan Syamsuridjal Anggo dari Fraksi Batik bersedia menerima pendemo.Jawaban DPRD ditertawakan mahasiswa Menurut Latjangki, pihaknya menerima semua aspirasi yang disampaikan oleh para mahasiswa dan segera meneruskan ke pimpinan dewan untuk ditindaklanjuti sesuai mekanisme yang berlaku. "Secara pribadi saya setuju atas penolakan RUU BHP ini, karena akan memberatkan masyarakat kurang mampu," kata Armin di hadapan pendemo. Jawaban yang dikemukakan anggota DPRD Sulteng asal PPP ini justru mendapat tertawaan dari pendemo. Sebab, menurut mereka, apa yang disuarakan oleh mahasiswa bukan lagi merupakan sebuah RUU (Rancangan Undang-Undang), akan tetapi telah disahkan menjadi UU (Undang-Undang). Menurut Abrar, koordinator aksi, UU BHP merupakan sebuah kebijakan yang diintroduksikan oleh WTO melalui skema General Agreement on Trade Service (GATS), yaitu sebuah skema liberalisasi sektor jasa, termasuk sektor pendidikan. Sebelumnya pemerintah telah memaksakan pilot projek BHMN-isasi di beberapa kampus yang berada di Tanah Air, yakni, UI, ITB, UGM, IPB, Unhas, Unair, dan beberapa perguruan tinggi lainnya. Dengan diberlakukan UU BHP itu, menurut dia, ke depan akan membuat biaya pendidikan makin mahal, sehingga kualitas pendidikan pun makin merosot. Selain menolak UU BHP, pengunjuk rasa juga mendesak pemerintah segera mengambil alih tambang asing untuk subsidi pendidikan, menolak kedatangan Komisi X DPR yang akan melakukan sosialisasi BHP di Palu, serta merealisasikan anggaran pendidikan 20 persen di luar gaji guru dan dosen. Setelah puas berorasi di DPRD, pengunjuk rasa kemudian membubarkan diri dengan mendapat pengawalan aparat kepolisian.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009