Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Yuddy Chrisnandi, meminta pimpinan DPR menyelenggarakan rapat konsulatasi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membahas kasus surat Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, terkait dengan rencana renovasi KBRI di Seoul. Permintaan itu disampaikannya pada rapat paripurna DPR yang dipimpin wakil ketuanya, Soetardjo Soejogoeritno, dari Fraksi PDIP di Jakarta, Selasa. Yuddy menilai surat Sudi itu sebagai penyimpangan dan tidak boleh terjadi lagi di masa depan. Terkait dengan suratnya itu, Sudi di sela acara pertemuan Presiden Yudhoyono dengan Presiden Timor Leste, Xanana Gusmao, di Istana Tampaksiring, Bali, 17 Februari lalu, mengakui bahwa ia telah mengirimkan surat kepada Menlu mengenai adanya sebuah perusahaan yang ingin merenovasi Gedung KBRI Seoul. Namun surat itu bukan merupakan rekomendasi agar Menlu memilih perusahaan tersebut, katanya. Seperti diberitakan, dalam suratnya, Sekretaris Kabinet meminta Menlu Hassan Wirajuda menanggapi dan menerima presentasi manajemen PT Sun Hoo Engineering. Sehubungan dengan perihal proposal rencana renovasi gedung KBRI Seoul itu, Sudi sempat mengirim dua surat kepada Menlu, yakni surat bernomor B.22/Seskab/1/2005 tanggal 20 Januari 2005 dan surat bernomor B68/Seskab/II/2005 tanggal 21 Februari 2005. Mantan presiden Abdurrahman Wahid termasuk di antara tokoh nasional yang menyayangkan adanya surat Sudi itu. Rapat paripurna DPR itu diwarnai dengan interupsi dari Azwar Annas, anggota Komisi V DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa. Pimpinan DPR harus memberikan kesempatan pada komisi-komisiI untuk membahas DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran). Menurut Azwar, DPR telah mengesahkan UU APBN Tahun 2006, namun rincian dari APBN itu tidak dibahas di komisi-komisi, sehingga menimbulkan deviasi yang cukup besar antara rincian mata anggaran dengan UU APBN. Ia mengatakan pimpinan DPR harus memberi kesempatan pada komisi-komisi untuk membahas masalah tersebut, sehingga penyimpangan yang terjadi tidak akan terulang kembali. "Khusus untuk Komisi V penyimpangannya cukup besar sehingga pihak Departemen Keuangan perlu memberikan klarifikasi mengenai penyimpangan-penyimpangan antara UU APBN dengan realisasinya di tingkat departemen terkait," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2006