Riset itu sangat penting. Sebagai sebuah negara, indeks hasil riset Indonesia justru termasuk rendah.
Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sugeng Suparwoto mendorong Indonesia segera meningkatkan penerapan formulasi penyusunan kebijakan dan regulasi berbasis riset serta sains.
“Riset itu sangat penting. Sebagai sebuah negara, indeks hasil riset Indonesia justru termasuk rendah, produk-produk riset kita masih sangat rendah. Ini jadi tantangan kita semua,” kata Sugeng dalam keterangan di Jakarta, Sabtu.
Upaya penyusunan regulasi maupun kebijakan berbasis riset dan sains itu, diyakini akan menarik investasi jangka panjang dan berkelanjutan, serta perlu menjadi perhatian besar bertepatan dengan momen Presidensi G20 dan B20 pada tahun 2022.
Data Kementerian Riset dan Teknologi mencatat, berdasarkan catatan empat tahun terakhir, total publikasi riset Indonesia sebanyak 161.928. Masih tertinggal dibandingkan Malaysia yang memproduksi 173.471 publikasi riset pada kurun waktu yang sama.
Padahal, kata Sugeng lagi, riset dibutuhkan dalam banyak hal termasuk salah satunya regulasi dan kebijakan. Tujuannya supaya bisa mendongkrak lebih banyak investasi yang mengandung pengetahuan baru dan penerapan teknologi.
“Jadi idealnya kita tawarkan kepada investor-investor internasional berdasarkan data hasil riset. Riset kan bukan hanya sekadar perpustakaan, tapi bisa juga dalam bentuk eksplorasi, itu kan sama saja ekonomi berbasis riset, untuk mendapatkan kepastian, perihal cadangan, skala ekonominya,” ujarnya pula.
Indonesia, menurut dia, berpotensi besar menerima banyak manfaat dari penerapan kebijakan berbasis riset dan sains, antara lain terwujudnya ekosistem ekonomi yang lebih bersifat jangka panjang.
Kementerian PPN/Bappenas pada 2021, katanya pula, menekankan pentingnya hal tersebut bahwa investasi saja tanpa adanya inovasi yang berbasis riset dan sains akan riskan.
Atas dasar itu, kata dia lagi, penting bagi Indonesia memperkuat kebijakan berbasis riset dan sains, terlebih hasilnya sudah terlihat.erlebih hasilnya sudah terlihat. Tercermin dari beberapa investasi baik yang sudah terealisasi maupun masih berupa komitmen yang sudah terjadi dimana keputusan investasinya berbasis riset dan sains.
Di industri tembakau, misalnya, lahir pengembangan inovasi dan teknologi berupa produk tembakau alternatif yang bisa membantu perokok beralih kepada produk yang lebih rendah risiko. Berbasis riset dan sains, inovasi ini membuahkan investasi. Philip Morris International melalui afiliasinya yaitu PT HM Sampoerna Tbk pada akhir tahun 2021 mengumumkan investasi sebesar USD166,1 juta atau setara sekitar Rp 2,3 triliun untuk membangun fasilitas produksi untuk produk tembakau yang dipanaskan.
Hal serupa juga diumumkan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan, dan Keamanan KADIN Indonesia Bambang Soesatyo (Bamsoet) bahwa JTA International Holding, perusahaan investasi berbasis di Qatar mengumumkan investasi di industri smelter nikel di Indonesia pada Rabu (20/04). Landasannya adalah data riset US Geological Survey yang memproyeksikan cadangan nikel Indonesia mencapai 21 juta metrik ton, atau sekitar 40% nikel dunia ada di Indonesia.
Dengan hadirnya investasi tersebut dan didukung data riset yang relevan, kata Bamsoet yang juga ketua MPR ini mengatakan, sejalan dengan tekad Indonesia yang ingin menjadi pemain utama dalam ekosistem produsen baterai di dunia.
Negara ini sudah mendirikan Indonesia Battery Corporation (IBC), sebuah holding yang dibentuk oleh empat BUMN yaitu PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), PT Aneka Tambang Tbk (Antam) PT Pertamina, dan PT PLN.
Baca juga: Riset: Daya saing digital antarprovinsi di Indonesia semakin merata
Baca juga: BRIN perkuat budaya kolaborasi riset di Indonesia
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2022