Beijing (ANTARA News) - Ada pepatah, "Lain padang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya" artinya walau pun sama tapi suatu budaya punya perbedaan dan ciri khas di masing-masing tempat.
Walaupun sama-sama Islam Sunni, antara Islam Indonesia dan Malaysia dengan Muslim China, khususnya Muslim etnis Hui di provinsi Ningxia, tapi berbeda cara merayakan hari besar Idul Adha.
Misalkan cara takbiran di Muslim etnis Hui di China bukan dengan memukul bedug tapi membakar hio (sebatang lidi) sambil melakukan takbir.
Di Malaysia dan Indonesia, lelaki dan wanita berduyun-duyun melakukan shalat Idul Adha di masjid, tapi di Ningxia, Muslim etnis Hui, hanya lelaki yang beramai-ramai shalat Idul Adha di masjid. Sedangkan wanita dilarang shalat Idul Adha di masjid
"Kami takbiran dengan membakar hio. Ini merupakan tradisi Islam di China," kata imam masjid Wunan, Qiang Zuoxin, di kota Wuzhon, provinsi Ningxia.
Jamaah membawa hio yang terbakar ke dalam masjid kemudian ditancapkan ke mangkok tempat hio. Setelah itu dilakukan ceramah sebelum dimulai shalat Idul Adha.
Jumlah takbir shalat Idul Adha antara Muslim etnis Hui dengan Muslim di Indonesia dan Malaysia juga berbeda. Takbir shAlat Idul Adha di Ningxia hanya lima di rakaat pertama dan tiga di rakaat kedua.
Sedangkan di Indonesia dan Malaysia, jumlah takbirnya ada tujuh di rakaat pertama, dan lima takbir di rakaat kedua.
Setelah shalat Idul Adha, umat Muslim di Indonesia melakukan salaman kemudian pulang ke rumah atau ikut memotong hewan kurban yakni sapi atau kambing. Namun berbeda dengan etnis Hui, mereka masih melakukan shalat empat rakaat lagi.
"Shalat empat rakaat itu shalat sunnat ditujukan untuk Rasulullah Muhammad SAW. Itu shalat sunnat, umat Islam bisa ikut atau tidak," kata Qiang Zuoxin kepada para wartawan Indonesia dan Malaysia yang diundang melihat kehidupan umat Muslim, terutama saat perayaan Idul Adha
Setelah itu, umat Islam di Indonesia, Malaysia, dan Ningxia melakukan pemotongan hewan kurban di masjid, di rumah, atau di rumah. Mereka berkumpul bersama keluarga sambil menikmati makanan khas masing-masing.
Namun penghormatan perayaan Idul Adha di China lebih bagus dibandingkan di Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar di dunia, dan Malaysia sebagai negara dengan mayoritas umat Muslim.
Di China, terutama di provinsi Ningxia, libur selama empat hari, di provinsi Xinjiang libur tiga hari, sedangkan di Indonesia dan Malaysia hanya libur satu hari saja. Di Xinjiang, yang mayoritas etnis Uyghur dan identik dengan Muslim punya tradisi menyanyi dan menari.
"Jadi saat liburan, Muslim etnis Uyghur menari dan menyanyi di area publik, termasuk di depan masjid Idkah, masjid terbesar di China, yang punya halaman depan luas. Masjid itu pun terletak di pusat kota," kata Chen Li, kepala Humas Kashgar, salah satu kota di proVinsi Xinjiang, kepada para wartawan saat berkunjung ke kota itu.
Selebihnya tradisi perayaan Idul Adha di China, Indonesia, dan Malaysia sama. Di tiga negara itu ada tradisi balik kampung, ziarah ke makam, berkumpul bersama keluarga, dan makan makanan khas daerah masing-masing, yang pasti pesta daging kambing atau sapi.
Etnis Muslim
Di China, ada dua provinsi yang etnis mayoritas Muslim yakni di Xinjiang dan Ningxia. Di Xinjiang mayoritas etnisnya adalah Uyghur identik dengan Muslim, juga di Ningxia, mayoritas etnisnya adalah Hui, juga identik dengan Islam.
Di Tiongkok ada 56 etnis. Mereka hidup dan tinggal di seluruh provinsi. Misalkan di provinsi Ningxia ada 35 etnis, namun mayoritas adalah etnis Hui sekitar 38 persen. Bukan saja mayoritas, tapi penduduk asli provinsi Ningxia adalah etnis Hui. Begitu juga di Xinjiang yang mayoritas adalah etnis Uyghur dan juga etnis asli provinsi tersebut.
Karena keanekaragaman etnis dan punya budaya lokal, pemerintah China yang dipimpin partai Komunis, memberikan otonomi kepada provinsi Xinjiang dan Ningxia sejak tahun 1958. Otonomi untuk menegakkan hukum sesuai dengan adat istiadat setempat dan budaya lokal. Makanya Idul Adha di Xinjiang bisa libur tiga hari, di Ningxia libur empat hari tapi di provinsi lain tidak libur.
Bukan saja memberikan otonomi, pemerintahan Partai Kmunis China juga memberikan kebebasan warganya menjalankan agama dan ibadahnya masing-masing, apalagi setelah reformasi di China, yang identik dengan pasar bebas atau kapitalisme.
Oleh Pemerintahan Komunitas China, umat Islam diberikan tempat tinggal tersendiri di Changying, salah satu daerah di Beijing bagian timur. Mereka punya kawasan apartemen tersendiri, bahkan punya ruangan serba guna yang bisa digunakan untuk semayamkan mayat, mandikan mayat secara Islam.
"Kami juga punya kuburan Muslim di Beijing dengan komunitas Islam," kata Mao Ong Ming, Muslim etnis Hui, 68 tahun. Mao Ong Ming juga punya nama Islam yakni Ali.
Pemerintah China juga merenovasi masjid Changying, masjid terbesar di Beijing, sangat dekat dengan komunitas Muslim etnis Hui. Masjid yang sudah berusia 500 tahun, atau dibangun pada tahun 1501-1502 pada masa dinasti (kerajaan) Ming. Masjid dengan luas 2000 m persegi punya daya tampung 300 orang itu sangat bagus dan bersih.
Bukan itu saja, pemerintahan komunis China juga merawat dan merenovasi masjid tertua di China yakni masjid Niujie, di Beijing. Masjid berusia hampir 1000 tahun lalu dibangun antara tahun 1068 - 1077 saat dinasti Liao.
Masjid yang menjadi salah satu saksi perkembangan Islam di negeri Tiongkok ini menjadi salah satu objek turis di kota Beijing. Di seberang masjid tertua ada supermarket produk halal yang menjual semua makanan dan minuman dan kebutuhan lainnya.
Walaupun sama-sama Islam, namun arsitektur masjid etnis Uyghur dan Hui berbeda. Arsitektur masjid etnis Uyghur banyak dipengaruhi oleh Arab atau Timur Tengah. Kuat desain kubah, sedangkan masjid etnis Hui, mempertahankan desain China, bangunannya seperti Klenteng.
Begitu juga dengan bahasa. Bahasa daerah Uyghur (Xinjiang) terpengaruh oleh Arab yakni menggunakan bahasa Arab gundul, sedangkan etnis Hui menggunakan bahasa Mandarin. Hal itu disebabkan karena Xinjiang adalah provinsi yang berbatasan dengan Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan dan Pakistan.
(T.A029/Z002)
Oleh Adi Lazuardi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011