Jakarta (ANTARA News) - Pelaksana tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Bambang Permadi Brodjonegoro, mengharapkan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) senilai 50 basis poin menjadi 6,00 persen dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Mudah-mudahan bisa mendorong growth lewat konsumsi dan sektor riil," ujarnya di Jakarta, Kamis.

Bambang memperkirakan,  BI telah memperhitungkan tekanan inflasi rendah dalam tiga bulan mendatang sehingga berani untuk menurunkan kembali BI Rate dari sebelumnya 6,50 persen.

"Bank Indonesia sudah memperhitungkan inflasi tiga bulan ke depan," katanya.

Sementara itu, Kepala Ekonom Danareksa Research Institute, Purbaya Yudhi Sadewa, mengatakan bahwa keputusan Rapat Dewan Gubernur BI untuk menurunkan BI Rate merupakan kebijakan yang mengejutkan karena tekanan inflasi akhir tahun diperkirakan masih besar.

"Penurunan BI Rate menjadi enam persen agak mengagetkan, karena meskipun ekspektasi inflasi sampai saat ini year to date masih di bawah 4,5 persen, tapi di akhir tahun ada sedikit kekhawatiran ancaman inflasi dari pangan, artinya bisa saja inflasi lebih besar dari itu," ujarnya.

Ia memprediksi dalam jangka pendek, penurunan suku bunga ini dapat menimbulkan kekhawatiran terhadap pasar sehingga menimbulkan kepanikan.

"Yang dikhawatirkan adalah penurunan BI rate sampai 50 basis poin ini diekspektasikan negatif oleh pasar sehingga terjadi kepanikan di pasar. Capital inflow masih akan terus masuk, tapi memang harusnya BI tidak perlu seagresif ini untuk menurunkan BI rate," ujarnya.

Apalagi, menurut dia, penurunan ini tidak bisa terakselerasi langsung kepada sektor riil karena membutuhkan waktu paling lambat empat bulan.

Purbawa memperkirakan langkah BI tersebut merupakan upaya antisipasi apabila terjadi pelambatan ekonomi global, sehingga diperlukan stimulus untuk mendorong pertumbuhan.

Padahal, lanjut dia, apabila melihat pertumbuhan ekonomi sampai kuartal III sebesar 6,5 persen, ekonomi Indonesia belum terpengaruh oleh krisis.

"Dampaknya memang positif ke pertumbuhan ekonomi karena ekonomi bisa tumbuh lebih cepat, tapi negatifnya kalau inflasi di Desember lebih tinggi, nanti inflasi keseluruhan terlalu tinggi dan BI Rate bisa menjadi terlalu rendah," ujar Purbaya.

Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, mengemukakan bahwa ada dua hal yang patut diwaspadai terkait penurunan BI Rate, yaitu penurunan arus modal masuk (capital inflow) dan pelemahan nilai tukar rupiah.

"Penurunan BI Rate ini juga membuat capital inflow, agak sedikit melambat karena imbal hasil menurun, dan rupiah juga melemah," ujarnya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011