Jakarta (ANTARA News) - Dr Heru Santoso, pakar perubahan iklim dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI berharap Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) X 2011 yang dihadiri ratusan ilmuwan itu bisa lebih bergaung dan menghasilkan rekomendasi konkrit bagi kebijakan pembangunan.
"Jadi jangan sekedar sharing pengetahuan di antara para ilmuwan saja," kata Heru yang menjadi salah satu pemakalah di bidang air pada KIPNAS X yang berlangsung pada 8-10 November 2011 dan dihadiri para ilmuwan dari berbagai disiplin keilmuwan.
Ia menilai KIPNAS yang terakhir ini sudah banyak kemajuan dibanding empat tahun lalu (KIPNAS digelar empat tahun sekali) yakni lebih mengarah pada penyusunan rekomendasi yang diharapkan mengubah kebijakan nasional menjadi lebiih baik.
Ia juga berharap lembaganya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mampu memberi banyak masukan pada kebijakan nasional, bukan sekedar berfungsi sebagai pengembangan ilmu pengetahuan.
Bagi dia ilmu pengetahuan berujung pada bagaimana membentuk kebijakan nasional dan tidak berhenti pada diri sendiri.
Dalam kesempatan itu, pria kelahiran 1968 ini mengaku tak mengerti apapun tentang geologi ketika pertama kali memperoleh beasiswa Overseas Program ke jurusan Geologi di Imperial College London pada 1986 dan baru mulai menyukai ilmunya saat menjalani kuliah S3-nya.
"Saya totally blank saat itu. Saya memang sempat diterima di jurusan Geodesi ITB usai lulus SMA sebelum melompat ke Inggris. Mungkin karena itu saya dimasukkan ke jurusan Geologi," kenangnya.
Baru tahun kedua ia merasa ada yang pas dengan minatnya khususnya soal struktur geologi, rekayasa geologi, dan lingkungan. Ia mengaku lebih menyukai hal yang berkaitan dengan konsep besar seperti bagaimana mempengaruhi suatu kebijakan daripada ilmu yang bersifat teknis.
Lulus dari London, Heru pun langsung cepat-cepat ingin melanjutkan ke S2, alasannya karena dari London ia hanya mendapat gelar BSc yang dianggap sekedar sarjana muda.
Maka iapun segera menerima tawaran untuk meraih gelar Master dan memilih jurusan rekayasa geologi di New South Wales University.
Usai menunaikan pendidikan di Australia dan kembali ke LIPI, ia tak berminat lagi meneruskan studinya termasuk ketika ditawari S3 yang lebih spesifik mempelajari kestabilan tanah.
"Saya pikir itu terlalu spesifik, jadi saya tak berminat. Panutan saya adalah senior saya Herry Harjono (mantan Deputi Ilmu Kebumian LIPI), seorang saintis yang tidak berpikir proyek, tapi bagaimana memberi sumbangan untuk bangsa memberi kebijakan terbaik," katanya.
Namun dorongan dari istrinya membuatnya mulai berpikir. Ia pun mulai membuat proposal penelitian untuk meraih beasiswa S3, tentu saja dengan konsep holistik yakni tata guna lahan dan pengaruhnya pada debit air sungai dan banjir.
"Proposal itu diterima di Waikato University, New Zealand, saya dipanggil. Sayangnya masih dinilai terlalu umum topiknya. Jadi kami berdiskusi dan akhirnya saya memasukkan persoalan perubahan iklim ke proposal itu," katanya.
Hipotesa risetnya menyebut bahwa tata guna lahan paling berpengaruh pada banjir dibanding perubahan iklim.
"Tapi ternyata hasil penelitiannya berbeda, perubahan iklimlah yang lebih berpengaruh pada banjir daripada tata guna lahan," ujar Kepala Bidang di Puslit Geoteknologi LIPI yang kemudian mulai menyukai bidangnya itu.
(ANTARA)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011