Mekkah (ANTARA News) - Ritual ibadah haji praktis sudah selesai. Sebagian jemaah haji ada yang masih semangat meneruskan ibadah dengan itikaf di mesjid atau kembali mengambil umroh.
Sebagian lagi, terutama ibu-ibu, mulai "tawaf" di eks Pasar Seng dan pusat-pusat belanja lain untuk berburu oleh-oleh dan cenderamata. Ada juga yang sibuk mencari "Kamar Barokah".
Kamar Barokah menjadi istilah yang paling banyak dibicarakan oleh jemaah haji sesudah mereka melakukan tahalul atau potong rambut yang menandakan proses ritual ibadah haji tuntas atau selesai. Meminjam istilah yang berlaku di sosial media seperti facebook dan twitter, Kamar Barokah menjadi "trending topics". Sesuatu yang lagi "happening", lagi nge-trend.
Kamar Barokah adalah tempat dimana pasangan suami-isteri melepaskan hasrat biologisnya setelah sekian lama tertahan karena larangan-larangan yang berlaku selama ihram.
Kini sudah bebas. Hubungan suami isteri yang tadinya haram, kini menjadi halal.
Cuma, meski bermesraan dan melepas rindu sudah halal, untuk mengeksekusinya tidak mudah. Bahkan untuk pasangan yang sudah uring-uringan sekalipun, mencari Kamar Barokah bukan perkara enteng. Selama ini, satu kamar di pemondokan diisi oleh lima sampai delapan orang atau kalau berpasangan diisi oleh tiga sampai empat pasang suami-isteri. Tidak ada privasi.
Sangat manusiawi
Pihak pengelola Maktab tidak menyediakan fasilitas khusus soal ini. Padahal kebutuhan biologis ini, menurut Kepala Pengamanan Panitia Haji Indonesia Kolonel Bambang Siswoyo, sangat manusiawi.
Sahdan, menurut Bambang, pernah ada seorang jemaah asal Bandung, Jawa Barat, sampai stress dan menggigil akibat tidak kuat menahan hasrat. Isterinya yang faham betul gelagat suaminya itu akhirnya dengan malu hati menghubungi ketua regu.
Ia meminta bantuan agar bagaimana penghuni kamar lainnya bisa keluar barang sejam dua jam dan membiarkan pasangan itu berduaan di kamar.
Lalu, sang ketua regu dengan arif dan bijaksana menyampaikan kepada penghuni lain agar membiarkan wanita itu "mengobati dan menyembuhkan" suaminya yang sakit.
"Silahkan bapak ibu berangkat ke Masjidil Haram untuk itikaf atau pergi belanja ke Pasar Seng. Mohon jangan kembali minimal dua jam agar si bapak yang sakit bisa tidur tanpa ganggungan," begitu bujuk si kepala regu sebagaimana dituturkan oleh Bambang yang aktif di Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH).
Sekembalinya teman sekamar dari Masjidil Haram dan Pasar Seng, mereka bertanya gimana keadaan si sakit. "Alhamdulillah sehat, tidak menggigil lagi," jawab si suami dengan muka segar ceria.
Lain lagi dengan cerita pengalaman si Bejo (bukan nama sebenarnya) tahun lalu. Sebagai seorang pejabat di suatu kementerian, ia menginap di Misi Haji Indonesia di kawasan Mina, Mekkah.
Kebetulan isterinya juga naik haji, namun tidak bersama dia melainkan bersama rombongan haji ONH Plus. Begitu ritual haji selesai, Bejo sibuk mencari kamar kosong di tempatnya menginap.
"Saya dan isteri berniat berhubungan suami isteri supaya mendapat anak "Made in Mekkah". Kalau diproduksi di Tanah Suci, Insya Allah anaknya nanti baik, saleh dan barokah," kata Bejo sumringah.
Jadi banyak alasan mengapa pasangan jemaah haji mencari Kamar Barokah. Ada yang sekedar melepas hasrat biologis. Ada juga yang memang berniat seperti Bejo ingin mendapat anak yang "Made in Mekkah".
Peluang bisnis tahunan
Peluang ini dimanfaatkan oleh para mukimin Indonesia di Mekkah seperti pemilik warung makan, pengemudi atau tenaga kerja musiman yang disebut Temus.
Suhanda, pemilik warung bakso Si Deol di kawasan Bahutmah, terang-terangan menyewakan Kamar Barokah dengan memasang iklan di warungnya seharga 300 riyal. Satu riyal kalau dikurs sama dengan Rp2.500.
Sementara sejumlah Temus (tenaga musiman) proaktif menyebarkan brosur dan kartu nama ke pemondokan di maktab-maktab jemaah haji Indonesia. Di satu brosur tertulis dengan mencolok tulisan seperti ini:
"DISEWAKAN KAMAR BAROKAH. Short time: 300 riyal. Hubungi: +966562395***"
Untuk mencari tambahan penghasilan, para Temus atau sopir asal Indonesia biasanya menyewakan rumahnya atau kamar kost mereka untuk dijadikan Kamar Barokah.
"Lumayan Mas. Ini bisnis setahun sekali. Selain dapat uang, saya juga dapat pahala karena telah menyediakan tempat bagi pasangan suami isteri untuk `berbarokah? di rumah kami," kata Ahmaddun, tenaga musiman asal Sumenep.
Selain menyewa tempat kost atau rumah mukimin, jemaah yang punya uang lebih bisa langsung "check-in" di hotel-hotel berbintang yang banyak bertebaran di sekitar Masjidil Haram. Tarif kamarnya bervariasi antara 500 sampai 1.500 riyal.
Oleh karena tidak ada pengaturan khusus mengenai fasilitas pelepas rindu ini, tidak semua pasangan suami isteri jemaah haji bisa mengambil "barokah" atau "sunnah nabi malam Jumat".
"Pengen sih pengen, tapi gak bisa. Sekamar banyak orang begini," kata Supriyadi, jemaah haji asal Jambi. Ia mengusulkan agar di setiap maktab dan pemondokan disediakan fasilitas Kamar Barokah gratis bagi jemaah.
Selama ini, kata Supriyadi, pemerintah belum memikirkan menyediakan Kamar Barokah. Mungkin, cara berfikir pemerintah sederhana saja: Jemaah datang ke Tanah Suci tujuannya adalah untuk ibadah, bukan untuk jalan-jalan atau tamasya. Jemaah seharusnya bisa menahan hasrat, karena ibadah haji adalah sarana pengendalian diri.
Boleh bersenang-senang
Akan tetapi cara fikir itu, menurut Wakil Amirul Haj Abdul Mu`ti, tidak sepenuhnya benar. Agama sendiri, kata Sekjen PP Muhammadiyah itu, membenarkan adanya apa yang disebut dengan haji "tamattu". Secara harfiah kata tamattu berarti "bersuka-suka" atau "bersenang-senang".
Menurut Abdul Mu`ti banyak jemaah yang tidak mampu bertahan dalam ihram sekian lama dengan berbagai larangan termasuk larangan berhubungan suami isteri. Sambil menunggu waktu haji (10 sampai 13 Dzulhijah), mereka melakukan umrah terlebih dahulu. Mereka datang ke Mekkah dalam keadaan ihram, tawaf, sa`i, lalu langsung tahalul.
"Kalau habis tahalul kan mereka boleh bersenang-senang, termasuk berhubungan suami isteri," katanya.
Jadi, kata Kyai Mu`ti, pasangan yang mau bersenang-senang di tanah haram tidak menyalahi aturan agama. "Sah-sah saja. Boleh-boleh saja. Halal-halal saja," katanya.
Ia setuju kalau ada semacam pengaturan bagaimana fasilitas pelepas hasrat jemaah itu. Caranya bagaimana, silahkan difikirkan. Namun, karena masalah ini sensitif dan tertutup, tidak perlu diumumkan secara terbuka.
"Seperti orang `check in` di hotel sajalah. Privasinya tetap terjaga," usul Kyai Mu`ti.
Zubaidi Yusuf , pejabat Kementerian Agama, punya ide kreatif dan jitu. Ia mengusulkan agar diadakan kesepakatan dengan teman-teman sekamar. Lalu dibuat perjanjian dengan pasutri lainnya bahwa pada jam-jam tertentu kamar dikosongkan dan penghuninya digilir.
"Dalam terminologi agamanya itu disebut `ijma tsukuti`, atau kesepakatan diam-diam. Tahu sama tahulah," katanya.
Kesepakatan diam-diam itu misalnya, hari ini pasangan A, besok pasangan B, besoknya lagi pasangan C dan seterusnya. Perjanjiannya harus jelas, pada jam-jam yang telah disepakati, misal jam 8-9 pagi kamar harus kosong kecuali sepasang pasutri yang mendapat giliran.
Kunci kamar dan jadwal dipegang oleh ketua regu. Kalau kamar sedang terisi, diberi kode khusus, misalnya di depan pintu kamar ditaruh sandal dua pasang.
"Kalau di hotel mudah, tinggal dipasang tanda `Do not disturb". Di pemondokan cukup ditaruh sandal dua pasang, artinya didalam ada yang sedang mengambil barokah," demikian Zubaidi.
Sungguh ide briliant dan kreatif! (*)
(Akhmad Kusaeni adalah Wakil Pemimpin Redaksi Antara)
(T.A017)
Pewarta: Akhmad Kusaeni *
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011