"Memang pembayaran itu berbasis pada data kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Kita semua tahu tidak semua bahkan masih sedikit pekerja itu sudah tercakup dalam daftar kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Masih cukup banyak yang bekerja di perusahaan itu belum menjadi peserta," kata Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Jumat.
Selain itu, dia menyoroti juga masih banyak pekerja Indonesia yang berstatus sebagai pekerja informal dan belum terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan, yang datanya digunakan menjadi dasar pemberian BSU.
Robert mengkhawatirkan fakta tersebut dapat menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan antara yang masuk dalam peserta BPJS Ketenagakerjaan dan yang belum menjadi peserta.
Baca juga: DRI apresiasi BSU bagi masyarakat berpenghasilan di bawah Rp3,5 juta
Baca juga: Ketua DPR minta Pemerintah pastikan penyaluran BSU tepat sasaran
Padahal, tuturnya, keduanya sama-sama merasakan kesulitan yang sama sebagai dampak pandemi terhadap perekonomian.
"Kalau tujuan pemerintah memastikan daya beli mereka meningkat dan kemudian tingkat konsumsi bergerak, harusnya ada perluasan kepesertaan atau ada perluasan penerima manfaat," ucapnya.
Dia memahami bahwa penggunaan data BPJS Ketenagakerjaan dilakukan untuk memastikan data calon penerima manfaat.
Tetapi dalam kerangka menghadirkan keadilan bagi mereka semua yang berhak atas instrumen pelayanan negara, kata Robert, maka Ombudsman berharap ini makin inklusif dan meluaskan cakupan penerima manfaat.
"Itu sesungguhnya untuk menutup ketimpangan dan juga menggerakkan ekonomi yang merupakan tujuan dari pemerintah," ujar Robert.
Sebelumnya, pemerintah kembali mengucurkan BSU bagi pekerja pada 2022 setelah mengucurkan bantuan tersebut pada 2020 dan 2021.*
Baca juga: BSU kembali disalurkan, sasar pekerja berupah di bawah Rp3,5 juta
Baca juga: Pemerintah akan bantu subsidi upah pegawai bergaji di bawah Rp3 juta
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022