"Peningkatan perubahan status kerja itu terjadi justru pada industri padat karya yang memproduksi pakaian jadi, sepatu, elektronika, serta makanan dan minuman. Semua tanpa ada pengawasan sehingga banyak menyalahi aturan PKWT (Pekerja Kontrak Waktu Tertentu)," katanya pada Dialog Tinjauan atas UU no.13/2003 dari Sudut Pandang Politik Ketenagakerjaan di Jakarta, Rabu.
Ia juga menjelaskan, hasil kajian LIPI bahwa terjadi peningkatan yang luar biasa jumlah perusahaan penyalur tenaga kerja baik berbentuk PT, Yayasan, Koperasi, CV dan Perorangan yang tidak disertai dengan pengawasan ketat dalam aturan kontrak kerjanya.
"Jumlahnya saat ini mencapai 1.200 perusahaan dan 80 persen diantaranya merupakan perusahaan abal-abal alias tidak jelas," katanya.
Menurut dia, dalam praktiknya terjadi pembiaran pelanggaran aturan PKWT seperti melanggar ketentuan jenis pekerjaan yang boleh dilaksanakan dengan PKWT, jangka waktu kontrak serta minimnya pengawasan dan penindakan atas pelanggaran itu.
"Semua itu berakibat pada semakin menurunnya kesejahteraan pekerja, dan tidak terjamin kepastian kerja, upah yang rendah dan meningkatnya biaya pencarian pekerjaan," katanya.
Di negara maju, menurut dia tidak semua perusahaan bisa seenaknya mempekerjakan tenaga kontrak karena setiap penambahan pekerja kontrak harus dikonsultasikan dulu dengan serikat pekerja di perusahaan itu.
"Di Austria, serikat pekerja dan manajemen mengatur pekerjaan apa yang bisa dilakukan tenaga kontrak dan pada posisi apa. Di sini begitu bebasnya aturan tenaga kontrak, bahkan sekarang sudah masuk pada pekerjaan staffing yang masuk pekerjaan pokok," katanya.
Ia menegaskan, aturan PKWT itu sudah cukup ketat, namun karena lemahnya pengawasan dan penindakan atas pelanggaran aturan PKWT sehingga jumlah PKWT bisa terus membengkak dan merajalela ke pekerjaan utama sebuah usaha.
"Ini perlu pembenahan serius baik dari sisi jumlah dan kualitas petugas serta perlunya standar prosedur dalam proses penyelesaian masalah sesuai aturan hukum baik pidana maupun perdata," katanya.
Sebelumnya, pada acara yang sama, Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia Prof Dr Aloysius Uwiyono SH MH menegaskan, isi Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyimpang dari UUD 1945 sehingga UU itu perlu direvisi secara total dan komprehensif.
"UU Ketenagakerjaan itu telah menciptakan ketidakpastian hukum, berparadigma konflik dan memposisikan pekerja sebagai manusia upahan atau komoditi dan bukan mitra pengusaha," katanya.
Pada Dialog itu, mantan Menteri Kehakiman Oetoyo Oesman SH mengingatkan bahwa kebijakan tentang Ketenagakerjaan juga sangat terkait dengan kebijakan bidang lain seperti investasi, perdagangan, perpajakan dan otonomi daerah.
"Investasi diperlukan untuk membuka kesempatan kerja, kebijakan perdagangan diperlukan untuk lindungi industri yang sudah supaya tidak kolaps, dan otonomi daerah jangan sampai membuat pengawasan atas aturan ketenagakerjaan menjadi lemah," katanya.
Ia mengaku prihatin, atas membanjirnya barang impor yang mematikan industri dalam negeri dan memunculkan pengangguran.
"Jangan sampai kesepakatan perdagangan menjadi deindustrialisasi di Indonesia, ini kontraproduktif dengan upaya menekan pengangguran," katanya.
Oetoyo Oesman juga sepakat agar UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan agar direvisi dengan menempatkan tenaga kerja sebagai mitra pengusaha sehingga asas kekeluargaan menjadi acuan dalam hubungan pekerja-majikan.
Seminar yang disponsori Frederch Ebert Stiftung dan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI) itu dibuka Ketua Pengurus YTKI Prof Dr Awaloedin Djamin MPA dan dihadiri sejumlah tokoh seperti mantan Menaker Dr Cosmas Batubara dan anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka dari Fraksi PDI Perjuangan.
(T.B013/Z002)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011