Jakarta (ANTARA) -- Temuan Rumah.com Consumer Sentiment Survey H1 2022, mengungkap bahwa di antara responden yang mempertimbangkan untuk membeli hunian dalam waktu satu tahun ke depan, sebanyak 98 persen memilih hunian rumah tapak, dan hanya 2 persen yang menjadikan apartemen sebagai pilihan utama.


Rendahnya minat responden tidak mempertimbangkan untuk membeli apartemen disebabkan dua alasan utama yaitu pertama nilai lebih untuk harga yang sama dengan membeli rumah tapak dan alasan kedua adalah ketidaksukaan tinggal di gedung bertingkat tinggi.


Marine Novita, Country Manager Rumah.com menjelaskan bahwa kondisi pandemi kemungkinan ikut menekan minat terhadap apartemen setidaknya dalam jangka waktu dekat ini.


"Selama pandemi berlangsung, Pemerintah dan dunia usaha mengeluarkan kebijakan bekerja dari rumah (WFH) dan belajar dari rumah yang berpengaruh terhadap fenomena tersebut," ujarnya.


Menurut temuan Rumah.com Consumer Sentiment Survey H1 2022, selain dua alasan utama di atas, beberapa alasan lainnya untuk tidak memilih apartemen secara berurutan berdasarkan popularitas adalah sebagai berikut (responden dapat memilih lebih dari satu alasan):


Rumah tapak dapat ruang lebih luas (39%)
Tidak mau tinggal di gedung tinggi (37%)
Tidak bisa diperluas ketika kebutuhan bertambah (27%)
Kuatir status kepemilikannya (23%)
Terikat biaya iuran bulanan (21%)
Tidak ingin tinggal di lingkungan padat (17%)
Kurang adanya privasi (10%)


Marine menuturkan sejumlah 39 persen responden survei menyatakan bahwa dengan harga yang sama, rumah tapak memberikan ruang yang lebih luas daripada apartemen.


"Bagi mereka yang sudah menikah dan punya anak bahkan kecenderungannya lebih tinggi lagi, hingga mencapai 56 persen responden menyatakan alasan tersebut," tambahnya.


Tinggal di gedung-gedung tinggi seperti apartemen memang menawarkan pemandangan yang lebih luas. Namun 37 persen responden survei yang menyatakan ketidaksukaan tinggal di gedung bertingkat tinggi menjadi alasan tidak mempertimbangkan membeli apartemen.


Saat tinggal di apartemen, penghuni harus menerima bahwa ruangan yang tersedia cukup terbatas. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk memperluas ruangan di masa depan, sebagaimana halnya di rumah tapak yang dikenal dengan istilah rumah tumbuh. Masalah ini dinyatakan oleh 27 persen responden. Walau begitu, merenovasi rumah untuk menambah ruangan juga tidak bisa dianggap gampang karena harus mempertimbangkan desain, biaya, dan perijinannya, jelas Marine.


Sebanyak 23 persen responden survei tidak mempertimbangkan membeli apartemen dengan alasan kurang merasa ada kepastian status terhadap apartemen yang akan dibelinya. Untuk diketahui, status kepemilikan apartemen atau rumah susun saat ini diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan Lahan (HPL), Hak Atas Tanah (HAT), Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah yang diterbitkan sebagai tindak lanjut Undang-undang Cipta Kerja.


Marine menyimpulkan bahwa hak kepemilikan dan hak pengelolaan memang bukan urusan yang sederhana. Karena itu diperlukan edukasi dan sosialisasi dari pemerintah mengenai aturan baru ini, diiringi pengawasan di lapangan untuk memberi rasa aman bagi pencari hunian agar melihat apartemen sebagai pilihan yang menarik.


Marine juga menyoroti bahwa sebagian responden (21 persen) memiliki persepsi tingginya biaya bulanan berupa Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL). Kekuatiran ini perlu dijawab dengan penentuan besaran IPL yang transparan dan pengelolaan yang partisipatif.


Menjadikan apartemen sebagai pilihan yang menarik bagi pencari rumah adalah Pekerjaan Rumah bagi segenap industri properti dan pemerintah. Keengganan dan kekuatiran pencari rumah harus dijawab dengan kepastian, rasa aman, dan pilihan produk yang tepat. Mengingat keterbatasan lahan perkotaan, tugas ini semakin mendesak untuk segenap pemangku kepentingan pungkas Marine.

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2022