banyaknya etnis yang mendiami wilayah tersebut dan hidup secara berdampingan
Jakarta (ANTARA) - Ketua Rumah Moderasi Beragama STAIN Sultan Abdulrahman Kepulauan Riau, Zulfa Hudhiyani, mengatakan sejak era kolonial toleransi antarumat beragama sudah bersemi di Tanjungpinang yang dibuktikan dengan beragamnya etnis serta rumah ibadah di wilayah tersebut.

"Tanjung Pinang termasuk dalam kategori kota kolonial dan kota dagang. Banyaknya etnis yang mendiami wilayah tersebut dan hidup secara berdampingan menjadi salah satu bukti sejarah penerapan moderasi beragama," ujar Zulfa dalam FGD Keberagaman di Tanah Melayu yang diselenggarakan El-Bukhari Institute yang diikuti dari Jakarta, Kamis.

Zulfa menjelaskan penduduk di Tanjungpinang awalnya didominasi oleh etnik Melayu yang beragama Islam. Dalam perkembangannya muncul etnik-etnik lain dan berbaur dengan masyarakat setempat seperti Bugis, Minangkabau, Jawa, dan Tionghoa.

Kedatangan orang China ke Pulau Bintan terjadi secara besar-besaran sejak dibukanya perkebunan gambir dan lada pada 1740-an pada era Daeng Celak. Setiap etnik itu kemudian membentuk paguyuban/koloni yang menyebar ke setiap penjuru wilayah Tanjungpinang.

"Ada 10.000-an orang Tionghoa yang bekerja di perkebunan gambir dan lada di Pulau Bintan pada abad ke-18," kata dia.

Baca juga: Belajar toleransi dari Kota Singkawang
Baca juga: Hidup guyub, Wakil Wali Kota: Depok sudah lama terapkan toleransi

Saat itu pemilik kebun merupakan masyarakat Melayu dan Bugis. Mereka menerima kedatangan orang Tionghoa yang eksodus dari pulau Jawa. Etnis Tionghoa ini kemudian menjadi etnik utama selain etnik Melayu di Tanjungpinang.

Menurutnya, berseminya toleransi yang merupakan perwujudan moderasi beragama ditunjukkan dengan adanya pembangunan gereja di Tanjung Pinang pada 1835-an.

Menariknya, Kesultanan Riau Lingga lewat Raja Abdul Rahman dan Kapitan Tan Hoo ikut memberikan bantuan berupa uang dan tenaga dalam pembangunan gereja tersebut. Gereja ini awalnya dimanfaatkan untuk ibadah orang Belanda yang kini dikenal dengan sebutan Gereja Ayam.

Dalam menciptakan harmonisasi antarumat beragama, Pemerintah Kolonial Belanda membangun rumah ibadah berdekatan. Gereja Protestan dibangun berdekatan dengan Masjid Keling yang kini dikenal sebagai Masjid Agung Al Hikmah, serta Klenteng Tien Hou Kong atau Vihara Bahtra Sasana.

"Saat misionaris dari Jerman datang ke Tanjungpinang pada 1834 belum ada gereja di Tanjung Pinang. Rumah ibadah yang ditemui hanya Masjid Keling dan Kelenteng di Kampung China. Masjid Keling ini dibangun para perantau dari India atau orang Keling," kata dia.

Baca juga: Wapres tetapkan Tomohon sebagai Kota Toleransi
Baca juga: Peneliti: Tokoh lokal memengaruhi tingkat toleransi di berbagai kota

Pihak Kesultanan Riau, kata dia, memberikan hak yang sama kepada semua etnik yang ada untuk menjalankan aktivitas ekonomi termasuk urusan keagamaan. Kesultanan saat itu mengeluarkan plakat yang isinya memperbolehkan membuka ladang gambir bagi masyarakat Tionghoa.

"Pihak Kerajaan Riau Lingga ini akan menghukum siapa saja yang mengganggu usaha gambir orang Tionghoa,. Termasuk memberikan izin kepada siapa saja untuk pemakaian tanah untuk kebun dan sebagainya, tak ada keistimewaan bagi siapapun," kata dia.

Plakat tersebut juga menjadi penanda dalam menciptakan berbagai ketertiban di masyarakat. Plakat ini sebagai pedoman agar terciptanya hubungan harmonis di tengah masyarakat yang multietnis.

Baca juga: Menag sebut NTT dapat jadi tempat orang belajar toleransi

Baca juga: Wali Kota Palu ajak pemuda lintas agama jaga toleransi antarumat

Baca juga: BPIP minta Kota Banyuwangi tetap rawat toleransi

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022