Yang penting saya bisa jualan tanpa dikejar petugas kamtib"
Jakarta (ANTARA News) - Bagi sebagian masyarakat kelas bawah, Southeast Asian (SEA) Games di mana atlet-atlet Indonesia akan bertanding secara heroik melawan atlet-atlet sekawasan, belum tentu membangkitkan nasionalisme mereka.

Bahkan sebagian dari mereka tidak tahu kepanjangan “SEA” dalam frasa SEA Games. Pun tidak mengerti olahraga macam apa saja yang dipertandingkan pada pesta gerak tubuh terbesar se-Asia Tenggara itu.

"Apa ya?" tanya Sumini merujuk kata "SEA" yang dibaca "si" dalam SEA Games.

Wanita paruh bayu  penjual makanan di Jalan New Delhi di depan Pintu Satu Gelora Bung Karno ini meneruskan, “Setahu saya sih SEA Games itu ya tentang olahraga. Kata orang-orang memang sebentar lagi diadakan.”

Dia tidak ambil pusing apa arti SEA Games baginya.

"Yang  penting saya bisa jualan tanpa dikejar petugas kamtib (keamanan dan ketertiban masyarakat),” katanya lagi dengan logat ngapak yang masih kental meski sudah 15 tahun di tanah orang Betawi.

Semua biasa saja dan datar, termasuk suasana di dekat kompleks Gelora Bunga Karno, Senayan, di mana pesta sukan sekawasan juga akan digelar, di samping Palembang nun di Pulau Sumatera sana.

Bagi orang-orang seperti Sumini, berburu rejeki dengan berjualan tanpa punya tempat tetap alias pedagang kaki lima, lebih penting ketimbang memikirkan diri mereka tertulari semangat nasionalisme yang digelorakan para atlet nanti.

“Yang penting usaha saya lancar dan anak saya bisa tetep sekolah,” kata Suriah yang mengingat mulai berjualan sejak Soeharto lengser dari kekuasaan 13 tahun lalu.

September lalu, Amien Rais mengatakan nasionalisme di negara ini masih sebatas pada olahraga.

Tapi, Sumini dan Suriah bahkan pelit menyebut kata “negara” saat pesta olahraga besar dua tahunan terjadi di depan hidung mereka. Dalam kasus itu, premis Amin tampak tidak tepat.

Atau jangan-jangan, nasionalisme olahraga hanya berlaku bagi orang yang memasang spanduk panjang di pagar selatan GBK dengan tambahan kata-kata seperti “semangka (semangat kakak)”, “luv you Indonesia”, atau “cemungudh, atlet kita pasti bisa”?

Tapi menengok perhelatan agung lainnya, yaitu KTT ASEAN yang diadakan berbarengan dengan pelaksanaan SEA Games ke-26, maka ucapan Amien Rais itu ada benarnya.

Bagaimana tidak, sebagian masyarakat ternyata memang lebih familiar dengan SEA Games daripada KTT ASEAN yang dilangsungkan mulai 13 November mendatang di Bali.

Heza Bigita, lulusan salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta, misalnya, mengaku mengetahui SEA Games akan segera dilangsungkan.  Tapi dia tak tahu, perhelatan itu dilangsungkan bersamaan dengan KTT ASEAN di Pulau Dewata yang membahas masa depan kawasan Asia Tenggara.

“KTT itu Komisi Tingkat Tinggi bukan ya?” tanya karyawati muda itu saat ditanyai apakah dia tahu KTT ASEAN.

Ketidaktahuan juga meliputi Hendri (21), mahasiswa perguruan tinggi swasta di Jakarta.  Pemuda berperawakan kecil berambut pendek ini mengaku tidak mengetaui ada perhelatan internasional besar di Bali.

Hendri lebih parah, dia bahkan mengurai singkatan "SEA" dalam SEA Games, sebagai “Sport Event Asean”. Tapi Hendri merasa olahraga akan menyalakan lagi api semangat nasionalismenya.

Bagi Hendri dan berjuta-juta orang Indonesia lainnya, ikatan imajiner primordial bernama Indonesia tampaknya lebih terletak pada olahraga dibandingkan pada pertemuan pemimpin negara.

“Komunitas terbayang” di negara ini terbentuk saat warga Papua dan Aceh secara bersamaan meneriakkan “gooolllll” saat Patrich Wangga dkk menyarangkan bola ke gawang Kamboja sebanyak enam kali Senin kemarin.

Olahraga memang menyatukan, tetapi seharusnya yang lain termasuk KTT ASEAN --yang akan membincangkan peta Indonesia di dunia internasional dan 'komunitas kawasan yang satu' yaitu "masyarakat ASEAN'-- juga bisa menyatukan bangsa ini, setidaknya menumbuhkan kepedulian di akar rumput.

Heza dan Hendri mungkin beruntung bisa merasa menjadi warga Indonesia melalui olahraga. Tapi apa yang mengikat Sumini dan Suriah serta mungkin jutaan orang lainnya ke dalam Indonesia, jika bukan olahraga atau pertemuan agung semacam KTT ASEAN itu?  (*)

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011