... Sebagai Ketua NU yang menjabat cukup lama, beliau bisa menentramkan kegelisahan warga NU. Maka pantas jika Idham Chalid mendapat gelar Pahlawan Nasional...

Jakarta (ANTARA News) - KH Dr Idham Chalid merupakan salah seorang tokoh yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Yudhoyono mewakili pemerintah di Istana Negara, Jakarta, Selasa, atau dua hari menjelang peringatan Hari Pahlawan 10 November.

Mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) dan Ketua MPR/DPR mendapat gelar Pahlawan Nasional karena dianggap berjasa luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara.

"Beliau cukup berjasa besar dan sudah berbuat banyak bagi bangsa dan negara. Sebagai Ketua NU yang menjabat cukup lama, beliau bisa menentramkan kegelisahan warga NU. Maka pantas jika Idham Chalid mendapat gelar Pahlawan Nasional," kata sejarawan dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Taufik Abdullah.

Keanggotaan NU dari sisi jumlah dan sebaran etnik pun geografis juga sangat besar di Indonesia. Ini juga yang diperhitungkan serius di mata pengelola negara dan para tokoh.

Idham Chalid adalah tokoh agama, tokoh bangsa, dan tokoh organisasi besar Islam Nahdlatul Ulama (NU) dan juga deklarator sekaligus pemimpin Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada saat-saat kepemimpinan putera Banjarmasin, Kalimantan Selatan, itulah gejolak politik Indonesia sedang hangat.

Ada pergerakan masyarakat di berbagai provinsi menuntut kesetaraan status, pemerataan pembangunan, dan sebagainya. Banyak di antara pergerakan itu yang dianggap makar kepada Jakarta dan dihadapi secara militer.

Idham Chalid memiliki otak cerdas dan bakat orator yang luar biasa, itu terlihat sejak duduk di Sekolah Rakyat. Tak ayal ia pun sering mengalami akselarasi alias melompat naik kelas karena dinilai memiliki kecerdasan di atas rata-rata.

Masa pendidikan di SR hanya dilalui empat tahun. Begitu pula saat menempuh pendidikan di Pesantren Modern Gontor Ponorogo, ia berhasil lulus dua tahun lebih cepat dari kebanyakan santri lainnya.

Sejak berkiprah dari remaja, karier tokoh kelahiran Setui, Kalimantan Selatan 27 Agustus 1922 itu, di PBNU terus menanjak. Ketika NU masih bergabung dengan Masyumi (1950), ia menjadi Ketua Umum Partai Bulan Bintang Kalimantan Selatan.

Sementara itu, ia juga menjadi anggota DPR RIS (1949-1950). Dua tahun kemudian, Idham terpilih menjadi Ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif NU (1952-1956).

Kemudian, ia dipilih menjadi orang nomor satu NU pada 1956. Bahkan, Idham merupakan orang yang terlama menjabat Ketua Umum PB NU, selama 30 tahun.

Di bidang eksekutif, ia beberapa kali jadi menteri, baik saat masa Orde Lama maupun Orde Baru. Ketika Bung Karno jatuh pada 1966, ia menjadi anggota presidium Kabinet Ampera I dan Kabinet Ampera II dan setelah itu ia diangkat menjadi ketua MPR/DPR pada periode 1971-1977.

Sebelumnya, pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II, ia juga menjabat sebagai wakil PM. Dalam posisi pemerintahan, beliau pernah juga mengemban tugas sebagai Ketua DPA.

Ulama besar NU itu juga merupakan tokoh yang telah berhasil mencetak banyak muballigh kondang termasuk Kiai Syukron Makmun dan KH Zaenuddin MZ, kata Saiful Hadi, salah seorang putra almarhum.

"Ayah memiliki banyak murid dari berbagai bidang. Di bidang tabligh sejumlah muballigh kondang berguru secara langsung ke ayah," kata Saiful Hadi yang juga Direktur Pemberitaan Perum LKBN ANTARA. Berlainan dengan sang ayah, keturunan KH Idham Chalid tidak seorang pun yang melanjutkan karir di bidang politik atau organisasi massa.

Idham Chalid meninggal dunia pada usia 88 tahun. Ia meninggal di kediamannya di kawasan pendidikan Darul Ma'arif, Cipete, Jakarta Selatan, Minggu 11 Juli 2010, pukul 08.00, karena sakit yang diderita selama 10 tahun terakhir.

Ia dimakamkan Senin (12/7) di Pondok Pesantren Darul Quran, milik keluarga, di Cisarua, Jawa Barat. KH Dr Idham Chalid meninggalkan isteri, anak dan sejumlah cucu.

Bahkan sebagai tokoh yang berpengaruh, namanya ditabalkan menjadi nama Gedung Sekretariat serta Gedung Serba Guna di Perkantoran Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan pada 14 Agustus 2011.
(D016)

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2011