Jakarta (ANTARA) - Pengamat film sekaligus Wakil Ketua I Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Hikmat Darmawan menilai kehadiran perempuan di industri film Indonesia pada masa sekarang telah berkembang menjadi semakin beragam, baik di dalam layar maupun di balik layar.
"Kalau melihat situasi pasca-reformasi 1998, jelas kehadiran perempuan di dalam layar maupun di balik layar itu kuat. Yang di balik layar juga mempengaruhi di dalam layar. Kita lihat bahwa perspektif perempuannya lebih kuat dan beragam," kata Hikmat saat dihubungi ANTARA pada Kamis.
Baca juga: Lima tontonan di Disney+ Hotstar untuk sambut perayaan Hari Kartini
Ia menjelaskan bahwa perjalanan representasi perempuan di dalam layar film Indonesia terjadi secara naik-turun dari masa ke masa. Pada masa kolonial hingga revolusi, misalnya, posisi perempuan dalam narasi film justru lebih kuat jika dibandingkan dengan masa Orde Baru.
"Film-film sekitar tahun 70 hingga 80-an, perempuan menjadi objek seksual atau objek khayalan laki-laki. Tapi masih ada sosok-sosok perempuan kuat yang terkadang jadi bercampur, jadi objek sekaligus perempuan kuat," katanya.
Meski patriarki juga berlaku secara sistemik pada masa revolusi, Hikmat berpendapat paling tidak perempuan punya suara di dalam aspek produksi ditambah muncul kesadaran kuat dari pembuat film pada masa itu yang melihat sosok perempuan lebih maju.
Hikmat mencontohkan bagaimana film-film Usmar Ismail menampilkan sosok perempuan, salah satunya termasuk tokoh Laila yang diperankan oleh Dhalia dalam film "Lewat Djam Malam" (1954).
Walaupun tokoh Laila menjadi pelacur, Hikmat menilai tokoh tersebut menjadi mitra bicara yang setara dengan tokoh utama. Selain itu, tokoh Laila juga digambarkan memiliki kehendak atau keinginan yang melampaui posisinya sebagai perempuan malam.
"Itu ('Lewat Djam Malam') cukup menarik walaupun yang menulis masih laki-laki, yang membuat film masih laki-laki. Tapi setidaknya (tokoh itu) tidak sekadar objek fantasi laki-laki saja," ujarnya.
Menurut Hikmat, representasi perempuan tidak hanya diartikan sebagai kehadiran sosok perempuan secara kuantitatif di dalam film, melainkan juga bagaimana pandangan kamera dalam menampilkan tubuh perempuan, apakah memposisikan perempuan sebagai objek atau subjek film.
"Kadang di balik layar kita rayakan posisinya, power-nya (perempuan). Tapi kemudian produknya bisa jadi masih berada dalam ideologi patriarki, masih mengukuhkan. Ya, itu dinamikanya," ujar Hikmat.
Ia mengatakan keragaman representasi perempuan di dalam layar pada masa sekarang dipengaruhi oleh kekuatan visi perempuan pembuat film yang banyak bermunculan selepas masa reformasi, mulai dari Mira Lesmana, Nia Dinata, Gina S. Noer, Mouly Surya, Kamila Andini, Meiske Taurisia, dan seterusnya.
Selain itu, Hikmat juga menilai laki-laki sutradara yang memiliki perspektif perempuan atau terganggu dengan sudut pandang patriarki juga turut bermunculan setelah reformasi, seperti Garin Nugroho, Edwin, dan seterusnya.
Menurut Hikmat, peran strategis dalam industri film Indonesia memang masih didominasi oleh laki-laki secara kuantitatif. Namun secara kualitatif, ia menduga perempuan lebih dominan atau paling tidak sudah setara. Meski demikian, Hikmat tetap mengharapkan agar perempuan lebih mendominasi industri film Indonesia.
"Dan memang seharusnya begitu, seharusnya perempuan yang lebih dominan. Kalau laki-laki itu banyak yang merasa sudah nyaman dengan sistem, diuntungkan oleh sistem, sehingga nggak baharu," ujarnya.
Baca juga: Tiga film yang mengangkat tema Kartini
Baca juga: Delapan kisah pahlawan nasional yang diangkat ke film
Baca juga: Tantangan Denny Sumargo berperan di "Kartini"
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022