Petenis nomor satu dunia itu mengaku tidak membenarkan perang, tetapi melarang atlet berkompetisi dianggapnya sebagai hal yang tidak adil.
"Saya akan selalu mengutuk perang, saya tidak akan pernah mendukung perang karena saya sendiri adalah anak perang," kata Djokovic dalam acara ATP di Beograd seperti dikutip AFP, Kamis.
"Saya tahu berapa banyak trauma emosional yang ditinggalkan. Di Serbia, kita semua tahu apa yang terjadi pada 1999. Di Balkan, kita mengalami banyak perang dalam sejarah baru-baru ini."
"Namun, saya tidak bisa mendukung keputusan Wimbledon, saya pikir itu gila. Pemain, tenis, atlet tidak ada hubungannya (perang). Kalau politik mencampuri olahraga, hasilnya tidak bagus."
Baca juga: Murray batal lewatkan tanah liat bersiap ikuti Madrid Open
All England Lawn Tennis Club (AELTC) yang menyelenggarakan Wimbledon menyatakan pihaknya bertindak demikian untuk "membatasi pengaruh global Rusia dengan cara sekuat mungkin."
Namun, asosiasi tenis putra dan putri, ATP dan WTA, juga mengkritik larangan tersebut dengan mengatakan keputusan itu "tidak adil" dan "sangat mengecewakan."
Petenis Rusia Daniil Medvedev yang merupakan saingan terdekat Djokovic dalam peringkat dunia, menggagalkan petenis berusia 34 tahun itu menyabet gelar Grand Slam di final US Open tahun lalu.
Djokovic baru bermain dalam turnamen ketiganya musim ini di ibu kota Serbia setelah dideportasi dari Australia menjelang Australian Open karena status vaksinasi COVID-19.
Juara Grand Slam 20 kali itu mengalahkan Laslo Djere 2-6 7-6(8/6) 7-6(7/4) pada babak kedua, Rabu.
Baca juga: Kalah di Beograd, Thiem puas dengan penampilannya pascacedera
Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2022