Yerusalem (ANTARA News) - Kelompok 21 aktivis yang berusaha berlayar ke Jalur Gaza dengan menembus blokade Israel masih ditahan di negara Yahudi tersebut, menunggu proses hukum, kata kementerian dalam negeri, Minggu.
"Ada 21 penumpang ditahan yang menolak segera diusir dan kini dalam proses hukum menentang deportasi mereka di depan seorang hakim," kata juru bicara kementerian dalam negeri Sabine Haddad kepada AFP.
"Hanya setelah proses hukum ini selesai... mereka bisa dideportasi," katanya.
Ke-21 aktivis itu merupakan bagian dari 27 penumpang dan awak yang berada di dua kapal yang disergap Angkatan Laut Israel ketika mereka berusaha melanggar blokade tersebut.
Pasukan komando Israel menaiki kapal Irlandia Saoirse (Kebebasan) dan kapal Kanada Tahrir (Pembebasan) di perairan internasional lepas pantai Gaza pada Jumat sebelum angkatan laut mengawal mereka ke pelabuhan Ahsdod, kata militer Israel.
Sabtu, Israel membebaskan enam penumpang -- seorang Arab Israel, dua orang awak Yunani, dan tiga wartawan dari Mesir, Spanyol serta AS.
Juru bicara itu mengatakan, ke-21 orang itu masih ditahan di penjara di Ramla dekat Tel Aviv, setelah diinterogasi oleh pihak berwenang imigrasi.
Orang-orang yang ditahan itu berasal dari Australia, Inggris, Kanada, Irlandia dan AS.
Sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh kelompok aktivis Gelombang Kebebasan (Freedom Waves) pada Rabu mengatakan, armada kecil itu akan berusaha melawan blokade kriminal yang terus diberlakukan Israel terhadap Jalur Gaza.
"Angin opini publik berada di belakang kami dan pelayaran kami, yang memperkuat tekad kami untuk melawan blokade ilegal terhadap 1,5 juta warga Gaza," kata Ehab Lotayef, penyelenggara kapal Kanada tujuan Gaza.
Menurut penyelenggara, kedua kapal itu membawa 27 orang, termasuk wartawan dan awak kapal, serta bantuan obat senilai 30.000 dolar.
Aktivis melakukan upaya besar-besaran untuk menerobos blokade Jalur Gaza pada Mei 2010 namun gagal karena pasukan komando Israel melakukan penyerbuan mematikan terhadap armada kapal mereka.
Armada kedua, yang disebut Freedom Flotilla II, berusaha mencapai Gaza pada Juli tahun ini, namun sejumlah kapal disabotase -- kata aktivis oleh Israel -- dan rombongan kapal terakhir disergap sebelum tiba di Gaza.
Israel telah berjanji akan melakukan segala sesuatu untuk mencegah armada kapal internasional mencapai Jalur Gaza, meski kapal-kapal itu mungkin tidak membawa senjata.
Para pejabat Israel mengatakan, armada kapal bantuan bisa digunakan sebagai selubung untuk membantu memasok senjata bagi Hamas, kelompok pejuang garis keras Palestina yang menolak mengakui Israel dan menembakkan roket serta mortir ke negara Yahudi tersebut.
Palestina menganggap blokade laut Israel itu tidak sah dan semakin memperparah ekonomi Gaza yang terbelakang.
Israel menjadi sorotan dunia setelah serangan mematikan terhadap armada kapal bantuan tujuan Gaza pada Mei 2010.
Laporan yang dikeluarkan Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 22 September 2010 menyebutkan, ada bukti jelas untuk mendukung penuntutan terhadap Israel karena pembunuhan dan penyiksaan yang disengaja dalam serangan Mei yang menewaskan sembilan aktivis Turki itu.
Israel menolak laporan itu dengan menyebutnya sebagai bias dan mendukung satu pihak dan menekankan bahwa mereka bertindak sesuai dengan hukum internasional.
Pasukan komando Israel menyerbu kapal-kapal dalam armada bantuan yang menuju Jalur Gaza pada 31 Mei 2010. Sembilan aktivis Turki pro-Palestina tewas dalam serangan di kapal Turki, Mavi Marmara, yang memimpin armada kapal bantuan itu menuju Gaza.
Israel berkilah bahwa penumpang-penumpang kapal itu menyerang pasukan, namun penyelenggara armada kapal itu menyatakan bahwa pasukan Israel mulai melepaskan tembakan begitu mereka mendarat.
Hubungan Israel-Turki terperosok ke tingkat terendah sejak kedua negara itu mencapai kemitraan strategis pada 1990-an akibat insiden tersebut.
Turki memanggil duta besarnya dari Tel Aviv dan membatalkan tiga rencana latihan militer setelah penyerbuan itu. Turki juga dua kali menolak permohonan pesawat militer Israel menggunakan wilayah udaranya.
Setelah serangan itu, Mesir, yang mencapai perdamaian dengan Israel pada 1979, membuka perbatasan Rafah-nya untuk mengizinkan konvoi bantuan memasuki wilayah Gaza -- kalangan luas melihatnya sebagai upaya untuk menangkal kecaman-kecaman atas peranan Mesir dalam blokade itu.
Kairo, yang berkoordinasi dengan Israel, hanya mengizinkan penyeberangan terbatas di perbatasannya sejak Hamas menguasai Gaza pada 2007.
Di bawah tekanan-tekanan yang meningkat, Israel kemudian meluncurkan penyelidikan bersama dua pengamat internasional atas serangan itu. Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon mendorong penyelidikan terpisah PBB dengan keikutsertaan Israel dan Turki.
Israel juga mengendurkan blokade terhadap Gaza dengan mengizinkan sebagian besar barang sipil masuk ke wilayah pesisir tersebut.
Jalur Gaza, kawasan pesisir yang padat penduduk, diblokade oleh Israel dan Mesir setelah Hamas berkuasa.
Kelompok Hamas menguasai Jalur Gaza pada Juni tahun 2007 setelah mengalahkan pasukan Fatah yang setia pada Presiden Palestina Mahmoud Abbas dalam pertempuran mematikan selama beberapa hari.
Sejak itu wilayah pesisir miskin tersebut dibloklade oleh Israel. Palestina sempat terpecah menjadi dua wilayah kesatuan terpisah -- Jalur Gaza yang dikuasai Hamas dan Tepi Barat yang berada di bawah pemerintahan Abbas. Kini kedua kubu tersebut telah melakukan rekonsiliasi.
Uni Eropa, Israel dan AS memasukkan Hamas ke dalam daftar organisasi teroris. (M014)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011