Jakarta (ANTARA) - Tantangan dalam peningkatan ekspor tuna, cakalang, dan tongkol produksi Indonesia meliputi persoalan tarif ekspor, non tarif, hingga logistik, kata Direktur Pemasaran Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kementerian Kelautan dan Perikanan Erwin Diwayana.
“Pengenaan tarif tinggi di atas 15 persen dan tarif ekskalasi untuk produk olahan dan tarif bahan baku masih dikenakan oleh sejumlah negara kepada Indonesia,” kata Erwin dalam webinar mengenai Daya Saing Tuna Indonesia yang dipantau di Jakarta, Selasa.
Sementara hambatan non tarif menghadapi isu persyaratan ekspor yang semakin ketat terkait mutu dan keberlanjutan. “Untuk mengatasi hal tersebut, kami telah melakukan perbaikan sistem dalam negeri dan melakukan negosiasi bilateral dengan melibatkan kementerian lembaga terkait," kata Erwin.
Sementara itu, Direktur Ocean Solution Zulficar Mochtar memberikan analisis tentang fokus peningkatan daya saing tuna Indonesia. Menurut dia peningkatan perlu diatur dari hulu ke hilir yaitu sejak dari stok, kuota, RFMO, kebijakan perizinan, persiapan operasional, penangkapan ikan, pendaratan, pengolahan, target ekspor, transportasi dan importir.
“Rantainya mesti dilihat secara holistik, jangan parsial karena akan timbulkan diskoneksitas, Itu yang selama ini terjadi” kata Zulficar.
Dia juga memberikan saran agar pemerintah Indonesia menyiapkan tim negoisator yang tangguh dan berpengalaman dalam menghadapi putaran perundingan internasional.
“Banyak perundingan terkait perdagangan perikanan tuna yang hasilnya merugikan Indonesia karena kegagalan tim sehingga perlu ada coaching atau penyiapan bahan yang solid dengan melibatkan expert, pengacara dan pelaku usaha,” kata Zulficar.
Pada kesempatan yang sama, Country Representative Marine Stewardship Council (MSC) Hirmen Syofyanto mengatakan bahwa saat ini tren produk dan konsumen perikanan dunia telah mengarah ke sertifikasi produk.
“Sebanyak 19 persen perikanan tangkap dunia telah terlibat dalam sertifikasi MSC dengan nilai penjualan mencapai 12,9 miliar dollar AS pada 71 negara konsumen membeli produk dan bersertifikasi MSC,” kata Hirmen.
Tantangan bagi pelaku usaha tuna global dan Indonesia adalah adanya resiko spesifik yang menjadi karakteristik perikanan tuna seperti risiko terkait IUU (illegal, unreported and unregulated) fishing, kerja paksa, sirip hiu, persyaratan rumpon dan ghost gear.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Moh Abdi Suhufan berharap pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasar ekspor tuna cakalang Indonesia sehingga bisa mencapai peringkat tiga besar dunia.
”Market share ekspor perlu ditingkatkan dari 5,33 persen menjadi 8,33 persen sehingga Indonesia dapat naik menjadi tiga besar dunia di bawah Thailand dan China,” kata Abdi.
Abdi mengingatkan pemerintah dalam upaya meningkatkan ekspor pembinaan kepada nelayan kecil perlu menjadi prioritas. “Produksi tuna Indonesia dihasilkan oleh 70 persen armada perikanan skala kecil dan hanya 30 persen oleh industri, sehingga kebijakan pemerintah perlu menitikberatkan pada perikanan skala kecil dan perlindungan ABK yang bekerja di kapal penangkap ikan skala industri,” kata Abdi.
Baca juga: KKP gelar pelatihan jaga kualitas ikan tuna untuk ekspor
Baca juga: Menteri KKP optimistis ekspor tuna dari Ambon terus tumbuh
Baca juga: Indonesia dinilai harus jadi "trendsetter" sektor perikanan
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022