Jakarta (ANTARA News) - Komisi Ombudsman Nasional menilai Bank Indonesia (BI) telah melakukan maladministrasi yang mengakibatkan izin usaha PT BPR Palapa Nusaraya dicabut (dilikuidasi), ungkap Asisten Komisi Ombudsman, Winarso kepada ANTARA News, di Jakarta, Minggu.Menurut Winarso, maladministrasi yang dilakukan BI yakni lalai menyampaikan dokumen atau surat keputusan No.5/29/KEP/DGS/2003 tertanggal 12 Mei 2003, tentang pencabutan status Bank Palapa Nusaraya dari Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU)."Surat keputusan itu baru diserahkan kepada pemilik perusahaan pada 23 April 2004, atau sembilan bulan setelah tanggal penerbitan. Bersamaan dengan itu, BI juga menetapkan BPR Palapa sebagai Bank Dalam Pengawasan Khusus (BDPK) berdasarkan surat No.6/197/DPBPR/IDBPR/Rahasia," ujar Winarso.Ia menjelaskan, keterlambatan penyampaikan keputusan itu merupakan salah satu faktor yang memperburuk kinerja BPR Palapa, sehingga BI menetapkannya menjadi Bank Likuidasi, pada 21 September 2005.Kasus ini berawal dari ketentuan BI pada pertengahan 2003 yang mengharuskan rasio kecukupan modal (CAR) BPR Palapa sebesar empat persen. Untuk meningkatkan status BBKU menjadi BDPK, BPR Palapa diwajibkan menyetor dana Rp125 juta.Namun, pada Februari 2004, BI kembali memeriksa, bahwa CAR menjadi minus 120,37 persen. Atas dasar itu, pemilik/komisaris BPR Palapa Hari Surjono menyetor kembali dana sebesar Rp875 juta secara bertahap, mulai Juni 2004 hingga September 2004.Ternyata, berdasarkan simulasi BI, penambahan modal tersebut belum bisa menjadikan CAR BPR Palapa menjadi positif. BI mencatat CAR-nya masih minus 66,95 persen.Meski demikian, Winarso menjelskan, penilaian kondisi keuangan, permodalan, dan status pencabutan izin usaha BPR Palapa bukan merupakan kewenangan Ombudsman. Dalam kasus ini perlu ada penelitian terhadap petugas atau pejabat BI yang bertanggungjawab atas keterlambatan penyampaian surat tersebut."Kami sudah melayangkan surat kepada BI pada 19 September 2005, untuk menyelesaikan masalah ini," ujar Winarso.Menanggapi hal itu, Direktur Pengawasan BPR BI, Irman Djaja Dalimi mengakui, memang ada keterlambatan penyampaian surat No.5/29/KEP/DGS/2003 tertanggal 12 Mei 2003 itu."Ada keterlambatan, namun secara informal (per telepon) BI telah memberitahukan kepada Saudara Hary Suryono sebagai pemilik dan komisaris BPR Palapa mengenai keputusan itu," kata Irman. Ia menjelaskan, proses BBKU, BDPK hingga likuidasi BPR Palapa sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. "Artinya, keterlambatan penyampaian surat jangan dijadikan sebagai alat untuk menuntut BI, karena BI juga telah memberikan sanksi tegas berupa mutasi kepada staf yang melakukan tugas pemeriksaan. Dan beberapa di antaranya juga sudah status pensiun," ujar Irman.Sementara itu, pemilik BPR Palapa, Hary Suryono mengatakan, BI sebagai bank sentral yang sehat dan bertanggungjawab, ternyata lebih mengutamakan pembelaan nama baik institusi dan pejabatnya sendiri daripada melindungi kepentingan perbankan kecil."Saya tidak pernah menerima telepon dari pejabat BI terkait informasi status BPR ketika itu," kata Hary.Ia juga menilai, BI telah mengabaikan upaya pemilik BPR yang telah menambah modal sebesar Rp1 miliar (Rp125 juta ditambah Rp875 juta), tetapi tidak dapat dipergunakan untuk usaha.Menurut Hary, pihaknya sudah menyampaikan masalah ini ke sejumlah pihak, mulai dari DPR hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mulai dari Ombudsman, pengamat perbankan hingga Tim Supervisi BI.Atas kasus tersebut, Hary menyatakan sejumlah tuntutan, yaitu meminta agar BPR Palapa dapat beroperasi kembali secara normal, BI bertanggungjawab atas dana pihak ke tiga yang dijamin pemerintah, BI juga agar menyelesaikan masalah dengan nasabah dana pihak ketiga yang tercatat di buku tabungan dan bilyet deposito.Selain itu, BI juga diminta membayar kerugian materi maupun non-materi yang dialami oleh pemilik, pengurus, karyawan BPR. Tentunya, BI juga agar mengembalikan nama baik pemilik BPR dan perusahaan BPR.Menanggapi pernyataan tuntutan itu, Direktur Pengawasan BPR, Irman mengatakan, BI siap jika masalah ini dilanjutkan ke pengadilan sekalipun.Irman menegaskan, pihaknya telah memberi hak jawab atas surat Ombudsman, termasuk juga surat kepada DPRD Tangerang, dan Dewan Supervisi Bank Indonesia, serta menjawab surat dari Setneg."Lihat saja, pembelaan dari Perbarindo sebagai asosiasi BPR tidak ada, karena umumnya menganggap BPR Palapa pada posisi yang salah," ujar Irman. Kasus ini katanya, juga sudah disampaikan ke Unit Khusus Investigasi Perbankan (UKIP) salah satu direktorat di BI, serta ke kepolisian.Laporan ke kepolisian terkait dengan aktivitas BPR Palapa yang masih menarik dana dari masyarakat terutama sejumlah sekolah dasar di Tangerang. "Tindakan BPR Palapa menghimpun dana masyarakat dan tidak membukukannya dalam pembukuan bank merupakan tindakan pidana. Padahal dalam status BBKU satu bank tidak diperbolehkan menarik dana masyarakat," ujarnya.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006