Jakarta (ANTARA) - Enam puluh tujuh tahun silam, pada 18 April 1955, sebuah sejarah besar terukir perihal perjuangan negara-negara di kawasan Asia dan Afrika untuk memperkuat kerja sama, bahkan dalam melawan kolonialisme melalui penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA).
Seperti yang dimuat dalam laman resmi Museum Konferensi Asia Afrika, terdapat sejumlah kondisi yang mendorong terselenggaranya KAA, di antaranya keadaan di mana masih banyak negara di kawasan Asia dan Afrika yang tengah memperjuangkan kemerdekaannya.
Di samping itu, beberapa negara Asia Afrika yang telah merdeka pun masih menghadapi masalah-masalah yang merupakan konflik sisa penjajahan, Bahkan, konflik antarkelompok masyarakat di Indonesia juga masih berkecamuk akibat politik devide et impera atau politik adu domba.
Lalu, ada pula kemunculan dua blok kekuatan yang bertentangan secara ideologi, yakni Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dengan ideologi kapitalis dan Blok Timur yang dipimpin Uni Sovyet dengan ideologi komunis. Kemunculan dua blok itu semakin memanaskan situasi dunia dan memicu Perang Dingin yang berkembang menjadi konflik perang terbuka.
Pada awal dasawarsa '90-an, Pakta Warsawa dengan Uni Soviet sebagai pemimpinnya melemah jauh karena sang penjuru bubar menjadi belasan negara baru yang merdeka, sejalan dengan keruntuhan Uni Soviet melalui Glasnost dan Perestroika yang dicetuskan Presiden Uni Soviet terakhir, Mikhail Gorbachev.
Keberadaan PBB yang berfungsi menangani masalah dunia belum berhasil menyelesaikan persoalan yang ada itu, terlebih akibat yang ditimbulkan oleh masalah-masalah tersebut sebagian besar diderita oleh bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.
Dari kesamaan nasib yang dialami negara-negara di Asia dan Afrika itu, gerbang awal penyelenggaraan KAA mulai terbuka. Meskipun begitu, seperti yang dikemukakan Kepala Museum KAA Dahlia Kusuma Dewi, konsep dasar penyelenggaraan KAA nyatanya sudah lama dicetuskan oleh Soekarno, tepatnya sejak 1933.
Pada saat itu, Soekarno bahkan masih jadi pejuang kemerdekaan. Ia mencetuskan, apabila Indonesia dengan Mesir dan India bersatu, maka mereka dapat melawan penjajahan.
Dimulai dengan Konferensi Kolombo pada awal 1954, dilanjutkan Konferensi Bogor pada 28-29 Desember 1954, penyelenggaraan KAA pun digelar pada pada 18-24 April 1955 di Bandung, Provinsi Jawa Barat. Bogor juga menjadi kota di mana faksi-faksi berseteru di palagan Kamboja dan Viet Nahm dicoba didamaikan melalui prakarsa Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno.
Sejarah mencatat, 29 negara peserta menghadiri KAA 1955 di Bandung itu. Negara-negara itu terdiri atas Indonesia, Afghanistan, Pakistan, Burma, Iran, Filipina, Kamboja, Irak, Iran, Arab Saudi, Sri Lanka, Jepang, dan Sudan. Berikutnya, Republik Rakyat Tiongkok, Yordania, Suriah, Laos, Thailand, Mesir, Libanon, Turki, Ethiopia, Liberia, Vietnam (Utara), Viet Nahm (Selatan), Pantai Emas, Libya, India, Nepal, dan Yaman.
Konferensi Asia Afrika ini melahirkan suatu kesepakatan bersama yang dituangkan dalam Dasasila Bandung. Secara garis besar, para negara peserta menyepakati adanya persamaan derajat, saling menghormati kedaulatan masing-masing negara, dan kerja sama antarbangsa. KAA pun berhasil merumuskan sejumlah masalah umum, menyiapkan pedoman operasional kerja sama antarnegara Asia-Afrika, serta menciptakan ketertiban dan perdamaian dunia. Konferensi tersebut juga merupakan proses awal lahirnya “Dunia Ketiga” atau “Gerakan Non-Blok” (GNB).
Sejak terjadinya momen bersejarah itu, guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Prof Hikmahanto Juwana, memandang terdapat perjalanan naik-turun yang dialami Indonesia dalam menjaga sekaligus memperkuat komitmen-komitmen yang dirumuskan ke dalam hasil KAA.
Lebih lanjut, ia memaparkan tiga alasan yang menyebabkan perjalanan itu berdinamika. Pertama, komitmen yang telah dituangkan dalam hasil KAA akan memunculkan perkembangan tafsir dari waktu ke waktu. Selanjutnya, pemerintah Indonesia pun silih berganti sehingga cara dalam menjaga komitmen tersebut pun akan berbeda-beda. Lalu, langkah tersebut juga bergantung pada situasi geo-politik yang sedang berlangsung dan berkembang.
Meskipun telah berlangsung pada 67 tahun silam, menurut rektor Universitas Jenderal Achmad Yani ini, KAA masih memiliki relevansi dengan keadaan pada saat ini. Hal itu pun tercermin dalam tema yang diangkat oleh Kementerian Luar Negeri dalam memperingati 67 tahun penyelenggaraan KAA, yakni “Pulih Bersama Bangkit Bersama”. Bahkan, dia menilai tema itu konsisten dengan tema yang diangkat pada keketuaan G20.
Melalui tema itu, dapat ditemukan relevansi bahwa Indonesia berharap dunia, termasuk negara-negara KAA, mampu mengulang kembali sejarah untuk keluar dari persoalan besar yang mereka hadapi bersama-sama pada saat ini, yakni pandemi Covid-19.
Di samping itu, Hikmahanto pun mengatakan semangat KAA pada 67 tahun silam masih relevan untuk digunakan agar negara-negara KAA mampu menaklukkan tantangan perekonomian dunia yang sempat terpuruk akibat pandemi Covid-19 dan persaingan dagang antara Amerika Serikat dan China.
“Tentu, Indonesia berharap bahwa dunia, termasuk anggota KAA bisa bersama-sama keluar dari pandemi Covid-19 dan keluar dari tantangan perekonomian dunia sebagai akibat dari pandemi Covid-19 serta persaingan dagang antara Amerika Serikat dan China,” kata dia, kepada ANTARA.
Menurut dia, kebersamaan itu bernilai penting karena Indonesia dan negara-negara KAA lainnya tidak mungkin meninggalkan negara-negara miskin dalam upaya untuk membebaskan diri dari jerat pandemi Covid-19. Ia menilai upaya bersama dari semua negara adalah langkah yang akan memulihkan dunia dan membuatnya menjadi perkasa.
Di sisi lain, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Fitri Bintang Timur, mengatakan, kondisi perang antara Rusia dan Ukraina membawa momentum KAA menjadi relevan pada saat ini. Ia mengatakan perang Rusia dan Ukraina mengingatkan kembali pada masa perang dingin di mana negara-negara besar memainkan pengaruh mereka untuk berkonflik di negara yang bukan daerah kekuasaan mereka secara langsung.
Ia menjelaskan pada awal dasawarsa '40-an, KAA dan GNB dibangun melalui ide dasar sebagai gerakan penengah yang tidak memihak dua kubu perang dingin, yaitu Barat dan Timur. GNB pun merupakan kebijakan untuk melawan upaya dekolonisasi dan imperialisme serta berpihak pada negara-negara kecil yang dijajah dan dieksploitasi oleh negara besar.
“Oleh sebab itu, negara-negara KAA dan GNB perlu untuk meminta penghentian kekerasan dan penindasan yang terjadi di Ukraina, meskipun perlu diakui bahwa tidak semua anggota dapat secara tidak langsung menyalahkan Rusia yang menyerang karena memikirkan pula bahwa terdapat agitasi atau pergolakan dari negara-negara Barat yang mendorong konflik terjadi,” kata dia.
Ia pun mengatakan Indonesia sebagai pihak yang memprakarsai penyelenggaraan KAA perlu menjalankan politik luar negeri bebas aktif dengan mendorong resolusi yang mencegah perpecahan di Majelis Umum PBB yang dapat berisi seruan dialog damai, perlindungan warga sipil, jalur aman, dan akses bantuan kemanusiaan.
Selanjutnya, Indonesia pun perlu senantiasa berdialog untuk membangun solidaritas negara-negara KAA dan GNB untuk mengetahui kebutuhan mereka dan memperjuangkan kebutuhan-kebutuhan negara ini dalam pertemuan G20.
Ke depannya, untuk menjaga komitmen dari terselenggaranya KAA, menurut dia, Indonesia perlu terus membangun solidaritas dan menyuarakan isu-isu penting bagi negara-negara KAA, seperti tidak ingin berpihak dalam konflik perebutan pengaruh negara-negara besar dan lebih memfokuskan pada penyelesaian isu-isu yang terlihat atau nyata.
Isu-isu yang nyata tersebut di antaranya adalah keamanan makanan, distribusi vaksin, pemulihan negara setelah pandemi, kerja sama internasional untuk mengatasi kemiskinan, persoalan kemanusiaan, dan masalah kesehatan terkait dengan penyelesaian penyakit menular, seperti TBC, demam berdarah, dan ebola.
Sementara itu, Hikmahanto berharap, ke depannya, Pemerintah dapat senantiasa merelevankan komitmen KAA di dunia yang telah berubah dari tahun 1955 menjadi era sekarang.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2022