Jakarta (ANTARA) - Tak dapat dipungkiri pesona pulau dewata dan kepulauan Bumi Lancang Kuning masih terdepan dalam menyedot pelancong dari mancanegara. Walau terus bertumbuhnya destinasi gres di bumi katulistiwa ini. Seperti menjamurnya resort di Likupang, Wae Rebo, Taman Nasional Gunung Leuser.
Sejak pandemi dua tahun silam, dunia pariwisata sempat tertatih-tatih. Kalau tidak dapat dikatakan stagnan. Kini seiring dengan upaya pemerintah menyiapkan roadmap pandemi covid-19 menjadi endemi. Pemerintah terus mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi dengan menerbitkan kebijakan yang menopang tentunya.
Dengan indikasi antara lain pembebasan karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri, pelonggaran mobilitas masyarakat, meniadakan syarat hasil negatif tes antigen maupun PCR bagi para pelaku perjalanan domestik, dan mengizinkan seluruh kompetisi olahraga dihadiri penonton secara luring dengan syarat tertentu.
Ekstensifikasi VKSK
Salah satu Instansi yang merespon secara proaktif dinamika reglemen tersebut adalah Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjenim). Debut Ditjenim dalam kaitan ini telah dimulai pada 7 Maret 2022.
Adalah dengan diterbitkannya aturan pembukaan Visa Kunjungan Saat Kedatangan (VKSK) atau Visa on Arrival (VoA) khusus wisata bagi 23 negara yang masuk ke Indonesia lewat Bali. Dalam peraturan keimigrasian teraktual medio Maret 2022 VoA telah bertambah menjadi 42 negara.
Demikian halnya beleid VKSK telah dimanifestasikan di Kepulauan Riau dengan sedikit perbedaan subjek negara asal dan jumlahnya.
Yang terkini Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi (SE Dirjenim) No : IMI-0549.GR.01.01 tanggal 5 April 2022 terdapat perluasan subjek negara asal VKSK menjadi 43 negara. Disebutkan bahwa orang asing hanya bisa masuk ke Indonesia hanya melalui 19 Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) terdiri dari tujuh bandara, delapan pelabuhan, dan empat pos lintas batas.
Wisatawan asing bisa keluar dari wilayah Indonesia lewat TPI mana saja. Tentu saja ketentuan ini tetap berpedoman pada tatanan prokes teranyar.
Yang menjadi pertanyaan, VoA khusus wisata hanya bisa didapatkan oleh subjek orang asing jika melintasi tujuh bandara. Bagaimana bila ada yang berminat mengunjungi destinasi lainnya ? Tentu hal ini akan menurunkan minat wisatawan menyambangi objek wisata terkait.
Pasalnya kunjungan turis mancanegara dapat memutar roda pergerakan nilai rupiah, di samping tambahan devisa pastinya. Yang dapat memberikan benefit baik secara langsung maupun tidak terhadap penduduk sekitar.
Sebagai bahan pertimbangan dalam ekstensifikasi pemberlakuan VKSK. Hatta dapat menukil pada statistik VKSK sebelum pandemi. Adalah data pada tiap TPI di seluruh Indonesia dari tahun 2019 ke bawah. Sehingga dapat ditentukan zona baru penerapan VoA.
Langkah ini perlu segera dilakukan agar terjadi eskalasi grafik perekonomian. Mengingat selama pandemi, telah melemahkan sendi-sendi kehidupan para pelaku sektor pariwisata. Yaitu mereka yang terlibat pada usaha penginapan, bisnis tour guide, usaha kuliner dan cinderamata.
Hal lain bila VoA dikorelasikan dengan program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) semakin menarik, mengapa demikian ? Sebab gaung KEK satu tahun belakangan ini mulai nyaris tidak terdengar. Bila dibandingkan pada tahun 2020 saat Perpres 109/2020 tentang Proyek Strategis Nasional (PSN) diterbitkan.
Artinya akselerasi penambahan lokus VoA yang membidik wilayah KEK. Akan berpotensi menarik kunjungan pelawat dari negeri seberang. Yang akan menggairahkan barometer kehidupan masyarakat di area KEK. Selain itu akan menjadi trigger bagi para pemangku kepentingan kembali bergotong royong.
Baca juga: VKSK pelintas batas dari Timor Leste mulai dilayani Imigrasi Atambua
Harmonisasi ketentuan
Sebagaimana diketahui dasar hukum VKSK yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No 48/2021. Pada Pasal 137 menyatakan bahwa Izin Tinggal Kunjungan bagi pemegang VKSK diberikan untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diberikannya Tanda masuk dan tidak dapat diperpanjang.
Dari pasal tersebut secara definitif disebutkan Izin Tinggal Kunjungan bagi pemegang VKSK tidak dapat diperpanjang.
Sedangkan pada Pasal 16 Permenkumham No 29/2021 tentang Visa dan Izin Tinggal disebutkan VKSK diberikan kepada Orang Asing warga negara dari negara, pemerintah wilayah administratif khusus suatu negara, dan entitas tertentu subjek VKSK untuk tinggal di wilayah Indonesia paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Pada Pasal 16 terbuka interpretasi mengenai VKSK apakah bisa diperpanjang atau tidak ? Karena tidak secara tegas dinyatakan dapat diperpanjang atau tidak, hanya disebutkan VKSK berlaku paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Pasal ini akan menimbulkan pertanyaan adanya kemungkinan penafsiran yang enigmatis.
Sementara itu dalam konstelasi hukum terendah, termaktub bahwa izin tinggal kunjungan (ITK) bagi pemegang VoA khusus wisata, diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang paling banyak satu kali.
Rasam teknis ini secara gamblang menyatakan VoA dapat diperpanjang paling banyak satu kali. Hal ini dapat dikatakan suatu diskresi mengingat adanya kemestian yang mendesak, urgensi dan idiosinkrasi dalam kehidupan berbangsa. Namun bila bernash pada PP No 48/2021 merupakan suatu kontradiksi satu sama lain.
Sementara diketahui bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia yakni UUD 1945, Tap MPR, UU/PP pengganti UU, PP, Perpres, Perda Provinsi, Perda Daerah.
Jika dicermati secara strata, tanpa bermaksud mengkerdilkan Permenkumham dan aturan teknisnya. Maka prosedur VoA yang tertuang dalam PP No. 48/2021 memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi, universal dan dapat dijadikan acuan bagi ketentuan berikutnya.
Setelah tatanan VoA disosialisasikan agar dapat diimplementasikan. Sudah saatnya dilakukan harmonisasi ketentuan VoA. Dalam rangka mengakomodir dinamika yang akan terjadi. Meskipun sebagaimana laiknya, harmonisasi direalisasikan sebelum suatu norma disahkan.
Diperlukan konsistensi apakah regulasi VKSK tidak dapat diperpanjang atau dapat diperpanjang satu kali. Kalakian dituangkan secara ajek dan berjenjang dalam peraturan perundang-undangan yang ada.
Baca juga: Kemenkumham perluas cakupan pemberlakuan visa kunjungan bagi 43 negara
Selain itu dalam rangka menyambut era endemi yang tentu saja memerlukan penyesuaian preskripsi keimigrasian.
Hal lain tidak menutup peluang bahwa ketidaksinkronan ini dapat menimbulkan implikasi yang akan terjadi dari perspektif publik terhadap Ditjenim.
Antara lain di mata publik akan menimbulkan stigma bahwa tidak adanya ketegasan hukum keimigrasian. Yaitu adanya dua prosedur yang paradoks, di satu sisi bernuansa cerah namun pada sisi yang lain abu-abu.
Juga mengindikasikan tidak adanya harmonisasi dalam penyusunan peraturan. Sedangkan harmonisasi suatu ketentuan perundang-undangan sebelum ditetapkan adalah suatu keniscayaan.
Terbukanya intervensi dari pihak yang memiliki kepentingan. Artinya kementakan adanya pihak yang menggunakan kebijakan yang bersifat ambivalen ini demi meraup keuntungan tertentu. Tidak berpraduga, hanya mencoba menatap ruang lain yang terkuak.
Adanya potensi ketidakseragaman Petugas Imigrasi dalam mengejawantahkan skema VoA. Tidak menutup kemungkinan di lapangan adanya pemaknaan ganda dari petugas terhadap kaidah tersebut.
Kekaburan dalam mendefenisikan VoA pada tataran spesifik dapat menyebabkan berubah-ubahnya asas pada prakteknya.
Maksudnya bisa saja terjadi pada suatu waktu ketentuan umum yang digunakan. Dan pada waktu yang lain aturan teknis turunan yang dipakai.
Demikian, semoga pandemi covid-19 segera berlalu dan menjadi endemi. Agar kehidupan berbangsa dan bernegara semakin baik dari hari ke hari terutama secara spiritual.
*) Fenny Julita,S.Sos.,M.Si. adalah Analis Keimigrasian Ahli Madya, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI.
Baca juga: Imigrasi jelaskan perbedaan VOA dengan visa kunjungan wisata
Copyright © ANTARA 2022