Dua pembangkit 1.000 megawatt tersebut -- masing-masing senilai antara 1,5-2 miliar dolar -- diharapkan akan menghasilkan listrik sebelum 2018 dan membantu meringankan kekurangan listrik kronis yang menghantam industri dengan keras.
"Federasi Rusia akan mendanai pembangunan pembangkit, memasok bahan bakar untuk pembangkit selama operasinya, mengambil kembali bahan bakar terpakai, dan penyediakan pelatihan," kata Shawkat Akbar, Direktur Komisi Energi Atom Bangladesh.
Kesepakatan tersebut ditandatangani di Dhaka oleh Yeafesh Osman, Menteri Sains dan Teknologi, dan Sergei Kiriyenko, Kepala raksasa energi nuklir milik negara Rosatom, menyusul kesepakatan kerangka kerja yang dicapai di Moskow Mei silam.
Kesepakatan tersebut menetapkan bahwa studi keamanan di dua lokasi dekat kota barat laut Bangladesh Roopur harus dilaksanakan sebelum konstruksi dimulai.
Bangladesh telah lama mengalami pemutusan listrik parah karena permintaan listrik melonjak dilatari ekonomi booming yang tumbuh sekitar enam persen setahun sejak 2004.
Krisis listrik memburuk dalam tahun-tahun belakangan karena kesenjangan antara permintaan dan pasokan mencapai hingga 2.000 megawatt per hari atau 40 persen dari produksi harian akibat kurangnya investasi selama bertahun-tahun.
Pada 2007, Bangladesh memperoleh persetujuan dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA), pengawas global industri tersebut, untuk membangun sebuah pembangkit listrik nuklir.
Para pejabat mengatakan negara itu perlu membangun pambangkit karena cadangan sumber energi utama negara itu -- gas alam -- cepat menipis dan dapat habis dalam satu dasawarsa. (K004)
Penerjemah: Kunto Wibisono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011