Pemimpin yang tidak ingin menukar akhiratnya dengan sekadar kenikmatan semu di dunia
Jakarta (ANTARA) - Pada saat Khalifah Umar bin Khattab berkuasa (23 Agustus 634 - 3 November 644), ia mengangkat Said bin Amir Al Jumahi sebagai Gubernur di Himsh, Suriah. Said bin Amir adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang dikenal karena kesederhanaan, kejujuran dan ketakwaannya.

Pada awalnya Said bin Amir menolak jabatan tersebut dan menganggap Khalifah Umar bin Khattab telah menjerumuskan dirinya kepada kenikmatan dunia.

Namun akhirnya ia menerima amanah tersebut saat Khalifah Umar bin Khattab mengatakan bahwa jika ia menolak jabatan sebagai Gubernur Himsh maka sama saja ia telah meletakkan beban yang berat di pundak Khalifah Umar sendirian untuk memimpin kaum Muslimin.

Khalifah Umar bin Khattab juga akan memberikan gaji kepada Said bin Amir sebagai Gubernur Himsh. Namun ia menolak pemberian gaji tersebut karena menurutnya pemberian dari "Baitul Maal" selama ini sudah cukup memenuhi kebutuhan hidupnya bersama keluarga.

Dengan niat bulat karena Allah SWT maka Said bin Amir membawa keluarganya berangkat untuk bertugas ke Himsh.

Suatu ketika utusan dari Himsh menghadap Khalifah Umar untuk menyampaikan daftar orang-orang fakir dan miskin di kota tersebut. Setelah membaca daftar tersebut, sang khalifah mendapati nama Said bin Amir Al Jumahi.

Khalifah Umar memeriksa dengan seksama dan melakukan konfirmasi kepada utusan dari Himsh tersebut. Ketika mendapat kepastian bahwa nama tersebut adalah benar Gubernur Said bin Amir, maka Khalifah Umar menangis seraya memerintahkan utusan dari Himsh membawa uang sejumlah 1.000 dinar darinya untuk diberikan kepada Said bin Umar agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sang gubernur beserta keluarganya.

Saat sang gubernur menerima uang itu dari utusan Khalifah Umar, ia justru berkata: “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”.

Baginya dengan menerima uang itu berarti ia mendapatkan musibah yang lebih besar dibandingkan dengan wafatnya Khalifah Umar bin Khattab atau kalahnya kaum Muslimin dalam peperangan melawan orang kafir.

Maka agar kenikmatan di dunia tidak menghancurkan kenikmatannya kelak di akhirat, ia dan istrinya segera membagikan uang dinar tersebut kepada para fakir miskin di wilayah kekuasaannya.

Said bin Amir, walaupun sebagai gubernur, tidak memiliki pembantu. Ia sendiri yang mengaduk tepung dan memasak roti untuk keluarganya.

Ia juga hanya memiliki beberapa helai pakaian yang bagus untuk dipakai bekerja. Ia sendiri juga yang mencuci pakaian di rumah. Terkadang ia memakai pakaian yang lusuh untuk bekerja, karena pakaian yang bagus belum kering saat baru dicuci.

Mendengar hal ini, Khalifah Umar lewat utusannya kembali mengirimkan uang kepadanya untuk dapat dibelikan pakaian. Said bin Amir setelah menerima uang dari Khalifah Umar, kembali membagikan uang tersebut kepada para fakir miskin.

Kesederhanaan sebagaimana Gubernur Said bin Amir dicontohkan juga oleh para pejabat di Indonesia. Bung Hatta, negarawan dan ekonom Indonesia yang menjabat sebagai Wakil Presiden RI yang pertama, suatu ketika sangat rindu dengan ibunya yang sudah lama ia tidak temui. Ia meminta keponakannya untuk menjemput ibunya.

Keponakan Bung Hatta mengusulkan untuk menjemput ibu dari Bung Hatta dengan mobil dinas wakil presiden agar ada kebanggaan seorang ibu dan masyarakat sekitar tempat tinggal ibunya bahwa ia dijemput dengan mobil seorang pejabat tinggi negara.

Namun Bung Hatta tidak mengizinkan mobil dinas tersebut dipakai menjemput ibunya, bahkan ia meminta pinjam mobil keponakannya tersebut yang dipakai.

Saat masih menjabat sebagai wakil presiden, Bung Hatta ingin sekali membeli sepatu "Bally" yang saat itu terkenal sebagai merek sepatu yang bermutu tinggi, terkenal, dan mahal harganya. Karena uangnya tidak cukup untuk membeli sepatu tersebut, Hatta lalu menabung.

Namun tabungannya tidak pernah cukup karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga yang mendesak dan keperluan untuk membantu orang lain yang sedang kesusahan. Sampai akhir hayatnya Hatta tidak pernah memiliki sepatu yang diimpikannya itu.

Beberapa waktu setelah Bung Hatta wafat, keluarganya menemukan guntingan iklan sepatu Bally di dompet Hatta. Ia memilih untuk tidak memiliki sepatu Bally tersebut. Padahal dengan jabatannya sebagai wakil presiden sangat mudah baginya untuk membeli sepatu Bally dari anggaran negara.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang pernah menjabat Wakil Presiden yang kedua, Sultan Yogyakarta, dan juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta adalah juga sosok pejabat yang penuh kesederhanaan.

Salah satu contoh kecil kesederhaaannya tercermin ketika ia menonton sebuah pertandingan sepakbola di lapangan Mandala Kridosono. Seorang wartawan "memergoki" Sri Sultan memakai kaos kaki longgar dan berlubang. Untuk menahan agar kaos kaki yang dikenakannya tidak melorot, digunakan gelang karet untuk mengencangkannya.

Sri Sultan tidak pernah malu memakai kaos kaki longgar dan berlubang tersebut, dan ia tidak pernah menganggap dirinya sebagai bangsawan dan pejabat yang pakaiannya harus berbeda dengan rakyatnya.

Kisah kesederhanaan pejabat yang lain tercermin dari teladan yang dicontohkan Agus Salim yang pernah menjadi menteri luar negeri pada kabinet Sjahrir dan kabinet Amir Sjarifuddin.

Menurut Prof. Schermerhorn, pemimpin delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati, Agus Salim adalah orang yang nyaris sempurna. Ia sangat pandai, jenius dalam bidang bahasa, mampu berbicara dan menulis dengan sempurna minimal sembilan bahasa, dan pandai berdiplomasi. Namun ada satu kelemahan Agus Salim, yaitu hidup melarat.

Keluarga Agus Salim pernah tinggal di sebuah gang kecil di Jakarta, dan untuk menuju gang tersebut harus masuk gang lain, kemudian masuk lagi ke gang yang lebih kecil. Seorang menteri luar negeri yang jenius tinggal di sebuah gang sempit di saat menjabat.

Mohammad Natsir, Menteri Penerangan dan Perdana Menteri pada masa Presiden Soekarno memberikan keteladanan yang luar biasa selama menjadi pejabat negara.

George McTurnan Kahin, Guru Besar Universitas Cornell, Amerika Serikat (AS) sangat terkejut ketika bertemu Natsir pertama kali. Kahin melihat sang menteri memakai jas yang bertambal. Pakaiannya ini benar-benar tidak menunjukkan Natsir sebagai seorang menteri.

Kahin mengetahui juga bahwa akhirnya para pegawai Departemen Penerangan yang dipimpin Natsir berpatungan membeli beberapa pakaian yang pantas untuk Natsir agar terlihat sebagai “menteri sungguhan”. Seringkali Natsir mengenakan baju yang itu-itu saja, bahkan ada baju yang sering dikenakannya walau ada bekas noda tinta yang tidak bisa hilang di saku baju tersebut.

Saat mengundurkan diri dari jabatan sebagai perdana menteri, stafnya melaporkan catatan saldo dana taktis perdana menteri yang masih cukup banyak.

Staf tersebut mengatakan dana ini adalah hak perdana menteri. Namun Natsir menolak karena menurutnya itu bukan hak dia dan memerintahkan agar dana tersebut diserahkan ke koperasi karyawan. Natsir memilih hidup sederhana dari uang yang menjadi haknya saja.

Jenderal Polisi (Purn) Drs. Hoegeng Iman Santoso, mantan Dirjen Imigrasi, Menteri Sekretaris Kabinet, dan Kepala Kepolisian Negara RI, dikenal sebagai tokoh yang sederhana, jujur dan berani. Hoegeng pernah menolak pemberian mobil dinas dari pemerintah saat menjabat sebagai Menteri Sekretaris Kabinet.

Saat itu Hoegeng mendapat dua buah mobil dinas, satu untuk keperluan bekerja dan satu lagi untuk keperluan keluarganya. Mobil yang ditawarkan untuk keluarganya adalah mobil jenis Holden keluaran terbaru tahun 1965.

Namun ia tetap menolak pemberian itu dengan alasan bahwa ia masih mempunyai mobil dinas Jeep Willis dari kepolisian.

Hoegeng berkata kepada asisten pribadinya bahwa ia tidak punya garasi lagi untuk menyimpan mobil dinas yang ditawarkan tersebut. Namun karena peraturan negara, maka mau tidak mau ia harus menerima mobil dinas.

Kemudian ia menitipkan mobil dinas itu di rumah asisten pribadinya karena garasi di rumahnya tidak cukup luas. Jika dibutuhkan saja ia akan memakai mobil dinasnya tersebut.

Di tengah kelangkaan pemimpin yang bersahaja, bangsa ini merindukan pemimpin yang ikhlas bekerja mengabdi tanpa pamrih.

Pemimpin yang memilih jujur dan hidup sederhana, walaupun mempunyai kesempatan untuk hidup mewah bergelimang harta. Pemimpin yang tidak ingin menukar akhiratnya dengan sekadar kenikmatan semu di dunia.
​​​​​​
Baca juga: 111 tahun Pak Natsir, Menteri berkemeja tambala
Baca juga: Pengamat: Bung Hatta merupakan politisi bersih dan sederhana
Baca juga: Pemimpin perlu teladani Sultan HB IX
Baca juga: Kabaharkam: Sosok Hoegeng pacu polisi jujur dan jaga integritas


*) Naufal Mahfudz adalah Ketua Umum Forum Doktor Bisnis Indonesia (Fordobi) dan Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Orwilsus Bogor

Copyright © ANTARA 2022