Pekanbaru (ANTARA News) - Pakar Hukum Universitas Islam Riau, Husnu Abadi, mengingatkan bahwa sebaiknya moratorium remisi bagi para koruptor dilakukan melalui perubahan atau revisi undang-undang.
"Kalau hanya berupa kebijakan dari sebuah kementerian, maka itu hanya (untuk) menyenangkan publik (tertentu) dan demi rasa keadilan sesaat saja," tandasnya kepada ANTARA di Pekanbaru, Selasa.
Ia mengatakan itu, mengomentari pernyataan Menteri Hukum dan Ham (Menkumham), Amir Syamsuddin dan wakilnya, Denny Indrayana, tentang kebijakan kementerian mereka untuk menerapkan moratorium (penghentian sementara) pemberian remisi (pemotongan hukuman) atas terpidana koruptor.
Husnu Abadi juga mengatakan, sebaiknya semuanya dikaji dan dirumuskan secara sistematis. Tidak boleh sepotong-sepotong.
"Memang harus dirumuskan mendetil, melibatkan semua pemangku kepentingan serta aspirasi masyarakat. Harus dirumuskan pula, jenis-jenis kejahatan apa saja (yang layak dan pantas tak mendapatkan remisi)," tegasnya.
Menanggapi pertanyaan, bagaimana sebaiknya moratorium remisi diwujudkan saja dengan merevisi undang-undang (UU), sebab kalau hanya kebijakan Menkumham, bisa dianggap menabrak UU, ia menyatakan sepakat dengan hal itu.
Ia juga meminta untuk merumuskan dengan seksama, mengapa cuma koruptor dan teroris yang dikenakan moratorium remisi tersebut.
"Kejahatan (penyalahgunaan) Narkoba pun pantas dikenakan sanksi berat. Terutama para pembuat dan distributor. Masukkan saja ini pada kelompok yang tak bisa menerima remisi," tandasnya lagi.
Tetapi ia mengingatkan pula, agar tukang bawa dan pemakai, hendaknya diberi hukuman atau sanksi seadil-adilnya, tak seperti pembuat serta pengedar.
"Lebih dari itu, koruptor pun boleh dibedakan berdasarkan jumlahnya (volume uang serta kerugian negara)," demikian Husnu Abadi.
(M036/E001)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011