Faktor awalnya kan kepadatan penduduk"
Jakarta (ANTARA News) - Bagi sebagian warga Jakarta, macet lebih menakutkan ketimbang kriminalitas. Tapi mereka tak mengenyampingkan kejahatan yang terus meningkat juga mengancam keselamatan hidup mereka.
Data Kepolisian Daerah Metro DKI Jakarta mencatat, hingga September 2011, jumlah kasus kejahatan menonjol di wilayah ini mencapai 7.382 kasus. Sementara memang turun dibanding tahun lalu yang tercatat 8.976 kasus.
Tapi berdasarkan rata-rata perbulan menjadi 820 kasus, dari 748 kasus per bulan pada 2010.
Namun angka itu ternyata tak begitu merisaukan warga Jakarta, setidaknya dari mereka yang ditemui ANTARA News seharian ini. Bagi mereka, kemacetanlah yang paling mengganggu hidup mereka.
"Sekarang situasi sudah relatif aman, tidak seperti dulu ketika jaman kerusuhan," kata Yamin (42), kuli panggul di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Yamin malah melihat kemacetan akibat tak terkendalinya jumlah kendaraan yang harus mendapat perhatian lebih.
Pernyataan Yamin diamini Andi Liem (60), pemilik toko emas di kawasan Tanah Abang. Andi memngatakan, dibandingkan dengan saat ia memulai bisnis pada 1950-an, keadaaan daerahnya jauh lebih aman sekarang.
"Justru macetlah yang lebih menakutkan," kata Andi.
Yamin dan Andi tak bisa menjabarkan apa yang ditakutinya dari kemacetan, tapi dari sejumlah data resmi pemerintah, kemacetan memang merugikan siapa pun, termasuk secara ekonomi.
Pada September 2010, Unit Kerja Presiden untuk Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan (UKP4) bahkan menaksir kemacetan di Jakarta telah menelan kerugian Rp12,8 triliun per tahun.
Itu termasuk biaya operasi kendaraan yang tidak semestinya dan kesehatan warga Jakarta, akibat stres, polusi asap, dan sejenisnya.
Macet juga menghambat mobilitas sosial dan produktivitas kerja. Jadi, klaim UKP4 itu banyak benarnya.
Bayangkan, akibat macet, pergerakan kendaraan di jalan-jalan raya Jakarta hanya 8,3 kilometer per jam, jauh dari pergerakan kendaraan rata-rata 20 kilometer per jam.
Jika itu terus didiamkan, maka kendaraan yang berada di jalanan Jakarta terancam tidak akan bisa bergerak pada 2012. Ini benar-benar skenario yang menakutkan, mungkin jauh menakutkan dari yang dikhawatirkan Yamin dan Andi Liem.
Masih primadona
Sebaliknya, bagian besar lagi warga Jakarta tetap mengkhawatirkan meningginya angka kriminalitas di kotanya ini, terutama kaum perempuan yang paling sering menjadi sasaran kejahatan.
"Saya kadang takut menggunakan perhiasan, apalagi setelah menonton televisi yang memberitakan perampokan bersenjata di mana-mana," kata Linda (41), pedagang di daerah Petamburan, Jakarta Pusat.
Bukan hanya takut pada jambret, Linda juga takut menjadi korban pelecehan seksual.
Arfina Triwidjayanti (25) lain lagi.
"Saya pernah diisengin orang, waktu itu kejadiannya menjelang Magrib. Tiba-tiba ban mobil kiri belakang gembos sendiri, setelah diperiksa ternyata disobek orang," kata karyawati perusahaan swasta yang berdomisili di daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan, ini.
Arfina menjelaskan, dia sering diingatkan teman dan kerabatnya agar menghindari beberapa wilayah yang dinilai rawan kejahatan.
Dia menyebut Mangga Dua, Meruya, Depok, Cawang UKI, dan pusat keramaian seperti Tanah Abang dan Blok M sebagai tempat-tempat yang disebutnya rawan kejahatan.
Tak seperti yang lain, Arfina mencoba mengurai akar dari menjamurnya kejahatan di ibukota. Katanya, kondisi ekonomi sangat mempengaruhi perilaku kriminal. Kriminalitas, katanya lagi,menjadi jalan pintas untuk memenuhi hasrat pribadi.
"Faktor awalnya kan kepadatan penduduk, para pendatang sulit cari kerja di Jakarta hingga akhirnya nekat. Tetapi warga non pendatang juga bisa berbuat kriminal, mungkin karena banyak tuntutan ekonominya, jadi kepepet," katanya mencoba menganalisis.
Tetap saja, meski macet di mana-mana dan kejahatan mengintai setiap waktu, Jakarta masih menjadi primadona untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat.
"Kalau di Jakarta bisa kerja apa saja, asal kita tidak malu dan mau berusaha, berbeda dengan di kampung," kata Suharso (43), pedagang asongan asal Tegal, Jawa Tengah.
Suharso mengaku bahwa sejak memutuskan pindah ke Jakarta pada 1984, dia malah mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.
"Tidak banyak sih, yang penting bisa menyekolahkan anak," katanya.
Pendapat sama dikemukakan Adysti Dwitantri (21), mahasiswi salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta Selatan.
"Sebenarnya sih saya nggak betah di Jakarta, tapi Jakarta masih jadi pilihan pertama untuk mencari kerja dengan gaji tinggi," kata Adysti.
Jakarta, sambungnya, "hanya butuh pemimpin yang tegas dan bergerak cepat untuk mengatasi segala permasalahannya." (*)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011