Jakarta (ANTARA) -
Energi alternatif yang bersumber dari energi baru terbarukan kian menjadi perbincangan serius di tengah melambungnya harga minyak mentah terlebih negara-negara di seluruh dunia kini telah mencanangkan program netralitas karbon.
Direktur SDM dan Penunjang Bisnis Pertamina Power Indonesia Said Reza Pahlevy mengatakan pertumbuhan energi baru terbarukan di dunia sangat pesat, termasuk Indonesia yang mencanangkan porsi 31 persen energi bersih pada 2050.
"Dunia akan meminta berkontribusi negara-negara untuk menurunkan gas rumah kaca. Kita
concern dengan kondisi itu, karena kondisi saat ini produksi karbondioksida hari ini masih meningkat," kata Said dalam diskusi DPP Persatuan Aktivis dan Warga (Pandawa) Nusantara bertajuk 'Indonesia dalam Menghadapi Transisi Energi' yang dikutip di Jakarta, Kamis.
Said menilai Indonesia memiliki peluang besar untuk dapat memproduksi energi baru terbarukan terlebih lagi sumber energi bersih yang dimiliki Indonesia sangat beragam dan melimpah, di antaranya potensi energi air, panas bumi, dan biogas.
Menurutnya, perencanaan energi baru terbarukan memerlukan investasi yang besar. Namun, hal ini harus dilakukan karena penggunaan energi baru terbarukan untuk menggantikan bahan bakar fosil hanya tinggal menunggu waktu.
"Energi baru terbarukan adalah sebuah keniscayaan, daripada menunggu, lebih bagus kita inisiasi. Jika harus berdampingan dengan energi baru terbarukan, kita sudah siap, paling tidak kita harus persiapkan dari sekarang," ujar Said.
Pengamat Energi Mamit Setiawan yang juga perwakilan DPP Pandawa Nusantara menegaskan energi baru terbarukan merupakan masa depan Indonesia yang diharapkan bisa menjadi sumber energi utama pengganti fosil pada 2060.
"Dengan sumber daya alam yang kita miliki, maka energi baru terbarukan merupakan masa depan ketahanan dan kedaulatan energi Indonesia, sehingga nantinya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Ini cita-cita yang sangat mungkin diwujudkan," kata Mamit.
Jika terus menerus bergantung dari energi berbasis fosil, lanjutnya, maka kedaulatan energi Indonesia sulit diwujudkan. Pasalnya saat ini Indonesia telah menjadi importir energi fosil.
"Sejak 2003 kita telah menjadi net importir energi fosil, di mana produksi kita lebih kecil daripada energi yang dibutuhkan. Energi baru terbarukan adalah masa depan kita," ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa transisi energi dari fosil menuju energi baru terbarukan memiliki banyak tantangan. Oleh karena itu, dia berharap Undang-Undang Energi Baru Terbarukan yang saat ini masih digodok DPR dapat segera disahkan.
"Dengan disahkan undang-undang ini diharapkan energi baru terbarukan di Indonesia bisa berkembang, tapi untuk pengembangan ini perlu dukungan dari seluruh pihak, termasuk kementerian. Apalagi saat ini teknologi energi baru terbarukan masih mahal dan memerlukan investasi yang besar," ucap Mamit.
Hal senada juga disampaikan Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana. Menurutnya, energi baru terbarukan dapat menjadi modal besar untuk pengembangan ekonomi dengan segala potensi yang dimiliki Indonesia.
"Sebenarnya kita sudah mulai energi baru terbarukan dari penggunaan biodiesel. Dari satu liter biodiesel, 30 persennya kita sudah gunakan minyak yang bersumber dari sawit," kata Dadan.
Baca juga: G20 punya peran strategis meningkatkan energi terbarukan di Indonesia
Baca juga: Gandeng Belanda, Pertamina NRE kembangkan manufaktur fotovoltaikPewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022