Satu orang yang berangkat haji, yang ngantar sampai dua bus. 'Rombengannya' yang banyak,"

Jakarta (ANTARA News) - Berjalan bergerombolan di trotoar dan sekali-sekali diminta minggir oleh para kernet angkot yang beroperasi di sepanjang Jalan Pondok Gede Raya, Jakarta Timur. Meski terlihat mengganggu arus lalu lintas -- yang tiap hari macet -- para pejalan kaki itu tetap tenang melangkah sambil menggendong anak.

Kebanyakan para ibunya mengenakan kain, berkerudung dan sebagian mengenakan sandal jepit. Sementara kelompok lelaki mengenakan kopiah lusuh, mengenakan baju lusuh dan tak ketinggalan beralas kaki lusuh. Mereka itu adalah para pengantar calon jemaah haji yang segera bertolak ke Tanah Suci. Penampilan mereka, bersahaja.

"Satu orang yang berangkat haji, yang ngantar sampai dua bus. 'Rombengannya' yang banyak," celetuk seorang supir angkot jurusan Cililitan - Pondok Gede, mengomentari rombongan jemaah haji yang keluar masuk Asrama Haji Pondok Gede.

Sopir angkot yang tak mau menyebut jatidirinya merasa kesal dengan kemacetan pada ruas jalan itu. Pada hari biasa saja macet, apa lagi saat musim haji. Karena itu para pengantar ia sebut dengan "rombengan" meski sebetulnya tak sedikit di antaranya ikut menggunakan jasa angkot ke asrama haji.

Seperti pada musim haji tahun sebelumnya, banyak calon jemaah haji masuk ke Asrama Haji tersebut untuk menjalani pengecekan dokumen, kesehatan dan hal lainnya. Kegiatan di asrama haji itu, dalam beberapa tahun terakhir, dirasakan tak terlalu menambah kepadatan dan kemacetan di ruas jalan Pondok Gede. Pasalnya, dewasa ini, embarkasi Asrama Haji Pondok Gede hanya melayani calon jemaah haji dari Banten dan Jakarta.

Beberapa tahun sebelumnya, asrama haji ini sebagai embarkasi itu melayani calon jemaah haji dari berbagai provinsi.

Meski demikian, pemandangan pengantar dengan ciri khas "sandal jepit" masih terasa kental di Asrama Haji Pondok Gede.

Para pengantar jemaah haji ini berasal dari kelompok pengajian daerah masing-masing. Di Jakarta, meski sudah memperoleh predikat sebagai kota metropolitan, akan terasa "paradoks" jika menyaksikan pemandangan para pengantar haji. Mereka berada dalam strata sosial bawah, tetapi yakin bahwa mengantar dan mendoakan orang berangkat haji bakal menuai kebaikan dan pahala. Terlebih lagi dari kawasan Banten, yang dikenal sebagai daerah relejius.

Pemandangan ini akan kembali terlihat saat kepulangan jemaah haji usai Idul Adha mendatang. Penyambutan pemulangan jemaah haji, termasuk di berbagai daerah, bakal ramai pula. Di kawasan pinggiran Jakarta biasanya ditandai membakar petasan.

Lantas, orang yang baru menunaikan haji (diminta atau pun tidak) menceritakan pengalamannya selama berada di tanah suci. Ujung cerita, biasanya, mereka ingin kembali ke tanah suci menunaikan ibadah yang sama.

Soal pengantar jemaah haji, yang dianggap sopir angkot sebagai penyebab makin parahnya kemacetan di kawasan Jalan Pondok Gede, sebetulnya membawa rezeki bagi pedagang kaki lima di kawasan tersebut. Coba lihat, kawasan parkir Asrama Haji yang kini dikelola salah satu perusahaan atas persetujuan Koperasi Karyawan Asrama Haji setempat, telah memberikan nilai tambah ekonomi.

Terlebih lagi, para pengantar jemaah haji "sandal jepit" itu lebih mudah diatur ketimbang keluarga pengantar berpenampilan perlente. Apa lagi jika dibandingkan dengan pengurus Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH).

Pengantar dari kampung mudah diatur, kata Alisin, kepala keamanan Asrama Haji Pondok Gede.

Menurut ayah dari enam anak ini, yang paling sulit diatur tatkala musim haji adalah para pengurus KBIH. Ia memahami pengurus KBIH punya ikatan emosional dengan anggota jemaah yang sudah berada di dalam asrama.

Namun, di sisi lain, mereka itu tak mau mengerti aturan yang berlaku. Yaitu, ketika jemaah haji sudah berada di dalam, padahal pengurus KBIH tak punya kewenangan untuk mengatur hingga di asrama haji. "Kita kadang harus bersitegang urat leher," ia menceritakan pengalaman tiap tahunnya.

Status sosial, atribut kepangkatan dan kekayaan, menurut Alisin, dalam menunaikan ibadah haji harus dilepaskan. Masih ada orang punya perasaan karena kaya atau pejabat, tatkala sudah masuk asrama haji minta pelayanan "plus", katanya.

Dalam prespektif ibadah, memang Islam sangat memperhatikan persoalan harkat dan kedudukan manusia. Termasuk dalam beribadah. Para ulama pun sepakat bahwa ketika seorang muslim melakukan sholat, tentu status yang melekat padanya ditanggalkan. Ketika sholat seorang muslim menghadap kiblat, membentuk safh dalam satu barisan dan mengikuti perintah satu imam. Peristiwa sholat itu menunjukkan egaliter, Islam tak hanya mewacanakan tapi mengaplikasikannya.

Dalam haji juga demikian. Tatkala seorang muslim menunaikan ibadah haji, pakaian yang dikenakan, ihram, sama dengan para muslim yang juga berhaji. Mengelilingi ka?bah yang sama, melaksanakan sa?i dan wuquf di padang Arafah yang sama. Semua itu merupakan bentuk persamaan, tak ada lagi yang namanya si kaya dan si miskin, orang mulia dan orang lemah, pejabat dan rakyat, mereka berkumpul menjadi satu untuk melakukan sebuah ibadah yang suci.

Mengapa ke Asrama
Menyaksikan pengantar jemaah haji dengan segala celotehnya di sejumlah warung makan pada pelataran parkir Asrama Haji Pondok Gede, sungguh mengasyikan. "Warna" celotehnya beragam, mulai soal calon jemaah haji mengumpulkan uang hingga memasuki daftar tunggu (waiting list). Tetapi ada pertanyaan menarik dari obrolan kalangan "akar rumput" itu, yaitu mengapa calon haji harus diinapkan di Asrama Haji.

Orang menunaikan ibadah haji tidak seperti pebisnis yang ingin pergi ke luar negeri. Yang bersangkutan bisa datang ke airport, lalu diperiksa kelengkapan dokumen dan bayar fiskal, terus berangkat.

Beruntung penulis memperoleh jawaban itu dari orang yang berkompeten. Orang itu adalah Dimyati RF, wakil Ketua II Pengurus Asrama Haji Pondok Gede.

Dimyati bercerita awal dari dasar berdirinya asrama haji di seluruh Indonesia. Katanya, memasuki angkutan haji menggunakan pesawat, sekitar tahun 1970-an, calon jemaah haji diharuskan masuk karantina selama 5 x 24 jam.

Berdirinya asrama haji dasarnya adalah permintaah Arab Saudi dengan mengacu temuan badan kesehatan dunia, WHO. Badan kesehatan dunia saat itu menemukan jemaah haji dari Indonesia mengidap kolera. Maka, pemerintah Indonesia cepat-cepat membangun asrama haji di berbagai daerah.

Sebelum itu, saat asrama haji belum ada, beberapa tempat dijadikan sebagai tempat karantina. Lantas, masa penginapan di karantina pun berangsur berkurang. Sekitar tahun 1973, karantina berlaku tiga hari. Pada 1979, dua hari dan sekarang cuma semalam, kata Dimyati.

Imam Prihadiyoko, salah seorang jurnalis di Jakarta, pernah mengungkap keharusan calon jemaah haji masuk dalam asrama haji, dimulai pada 1970. Hal ini terkait dengan ditetapkan Indonesia sebagai daerah endemik penyakit kolera oleh badan kesehatan dunia (WHO).

Saat itu ada ketentuan WHO yang mengharuskan warganegara Indonesia yang ingin ke luar negeri dikarantina dulu sebelum berangkat. Kondisi ini kemudian memaksa pemerintah Arab Saudi mengeluarkan aturan agar jamaah haji Indonesia di karantina selama lima hari setelah keberangkatan, dan lima hari setelah tiba di tanah air.

Pada tahun 1974, Direktur Jenderal Urusan Haji Prof KH Farid Maruf mulai merencanakan pembangunan asrama haji. Rencana itu, baru bisa direalisasikan pada masa Kementerian Agama dijabat Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara dan Dirjen Urusan Haji dijabat Burhani Tjokrohandoko, yang memerintahan pembangunan Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, yang lokasinya dekat dengan Bandara Halim Perdanakusumah, yang pada waktu itu merupakan bandara Internasional penerbangan dari dan ke Indonesia.

Dalam perkembangan selanjutnya, jumlah jamaah haji yang menggunakan pesawat udara mengalami kenaikan sampai tiga kali lipat. Maka, asrama haji pemberangkatan dikembangkan menjadi beberapa wilayah yaitu Jakarta dan Surabaya, selanjutnya ditambah lagi asrama haji Makassar dan Medan.

Kini, jamaah haji hanya masuk asrama haji sehari menjelang keberangkatan, dan ketika tiba di Indonesia tidak perlu masuk ke asrama haji lagi. Asrama haji saat ini berfungsi sebagai asrama haji embarkasi, yaitu asrama yang berfungsi untuk melayani calon jamaah haji dari proses awal sampai keberangkatan dan kepulangan melalui bandara haji.

Fungsi kehadiran asrama haji kini mulai menurun. Pasalnya, di beberapa daerah sudah banyak asrama haji. Agar kebersihan dan perawatan di asrama haji tetap berlangsung dan terjaga, kementerian agama pun membenarkan publik dapat menggunakannya dengan tarif terjangkau.
(ANT)


Pewarta: edy supriatna sjafei
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011