Damaskus (ANTARA News/AFP) - Para menteri luar negeri (menlu) kawasan Arab mendesak Presiden Suriah, Bashar al-Assad, menghentikan pertumpahan darah, sementara pasukan keamanan di negara itu menewaskan sedikitnya 36 orang dalam serangan baru terhadap para pemrotes.

Aksi kekerasan terbaru itu terjadi saat para pemerotes mendesak pemberlakuan zona larangan terbang seperti yang dilakukan di Libya untuk melindungi penduduk sipil dan tentara yang membangkang, kata satu kelompok hak asasi manusia.

Para menlu dari Liga Arab mengeluarkan desakan itu dalam satu pernyataan bersama.

"Komite tingkat menteri Arab itu menyatakan penentangannya pembunuhan penduduk sipil yang terus dilakukan di Suriah dan mengharapkan pemerintah Suriah melakukan tindakan-tindakan penting untuk melindungi mereka," kata pernyataan itu.

Sebagian besar korban-korban terbaru itu terjadi di Hama, di utara dan di Homs di daerah tengah negara itu, kata Observatorium Hak Asasi Manusia Suriah.

Pasukan keamanan Suriah mengepung masjid-masjid untuk mencegah para pemrotes melakukan unjuk rasa setelah sholat Jumat, menembakkan peluru-peluru tajam untuk membubarkan para pemerotes, kata Observatorium yang berpangkalan di Inggris itu.

Mereka membunuh paling tidak 36 orang termasuk seorang anak laki-laki berusia 15 tahun di provinsi Idlib, mencederai lebih dari 100 orang dan menangkap 500 orang.

Hama dan Homs adalah pusat dari protes-protes anti-pemerintah yang melanda Suriah sejak pertengahan Maret yang sampai saat ini menurut PBB lebih dari 3.000 orang,sebagian besar warga sipil tewas.

Militer melancarkan operasi-operasi di Qusayr, dekat perbatasan Lebanon selama beberapa minggu, di tengah-tengah pertempuran antara pasukan dan tentara yang membelot, kata para aktivis.

Ketua Observatorium itu Rami Abdel Rahman mengemukakan kepada AFP di Nikosia bahwa Homs paling banyak mengalami korban sejak gerakan protes itu meletus, sekitar 40 persen dari jumlah pemrotes yang tewas.

Aksi kekerasan terbaru itu adalah korban tewas terbanyak dalam hampir enam bulan pada setiap Jumat di mana para pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan seusai sholat Jumat menentang pemerintah.

Aksi kekerasan terburuk dalam sehari terjadi pada 22 April yang menewaskan 72 orang.

Setiap Jumat para pemrotes melakukan aksi mereka sekitar satu thema. Tapi saat ini mereka menuntut pemberlakuan zona larangan terbang untuk melindungi penduduk sipil dan mendesak tentara membelot-- seperti zona larangan terbang yang disahkan PBB di Libya yang telah membantu menggulingkan Muamar Gaddafi.

"Kami mendesak masyarakat internasional memberlakukan zona larangan terbang agar Tentara Pembebasan Suriah dapat berfungsi dengan kebebasan yang lebih luas," kata Revolusi 2011 Suriah, salah satu dari gerakan-gerakan utama dibelakang pembangkangan di halaman Facebook mereka.

Seorang perwira militer yang membelot yang kini mengungsi di Turki, Kolonel Riad al-Assad, mengaku pada Juli,telah membentuk satu angkatan bersenjata oposisi bernama "Tentara Pembebasan Suriah," tetapi kekuatan dan jumlahnya tidak diketahui.

Pada 4 Oktober, anggota tetap Dewan Keamanan PBB Rusia dan China memveto satu usul resolusi yang mengancam para pemimpin Suriah dengan "tindakan-tindakan yang ditargetkan" kecuali negara itu menghentikan penindasan berdarah.

Di Amerika Serikat, warga AS kelahiran Suriah Mohamad Anas Haitham Soueid, 47 tahun mengaku tidak bersalah dalam sidang pengadilan Jumat atas tuduhan ia memata-matai para pemrotes anti-Bashar untuk intelijen Suriah.

Kedubes Suriah membantah keras tuduhan-tuduhan itu, mengecam hal itu sebagai satu "kampanye pemutar balikan dan palsu."
(Uu.H-RN/H-AK)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011