Sleman (ANTARA News) - Pemerintah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, hingga kini masih kesulitan untuk menentukan motif batik yang bisa menjadi penanda daerah ini.
"Kesulitan tersebut disebabkan banyaknya ikon kultural yang ada, sedangkan perajin batik Sleman yang jumlahnya ratusan kini masih belum terinventarisasi dengan baik," kata Wakil Bupati Sleman Yuni Satia Rahayu, Sabtu.
Menurut dia, belum adanya motif batik khas Sleman menjadi pekerjaan rumah besar karena selama ini belum ada diskusi soal ikon yang akan dipakai dan inventarisasi pembatik untuk membicarakannya.
"Adanya kekhasan motif batik Sleman mendesak ditentukan karena turut berpengaruh pada kondisi pasar batik yang selama ini turut diandalkan sebagai potensi ekonomi kreatif sejak UNESCO menetapkan batik sebagai warisan budaya dunia 2009," katanya.
Ia mengatakan, saat ini Pemerintah Kabupaten Sleman akan menginventarisasi terlebih dahulu pembatik, kemudian membahas tentang motif khas yang akan ditetapkan sebagai ciri Sleman.
"Sejauh ini setidaknya ada tiga ikon motif batik dari wilayah Sleman yang bisa dipakai referensi untuk rujukan motif khas," katanya.
Yuni mengatakan, motif tersebut, yakni gambar gajah yang mengambil dari harafiah kata Sleman, burung Kuntul tersebar di Sleman yang sebagian besar wilayah pertanian, dan burung elang jawa yang banyak ditemui di Gunung Merapi.
"Kalau gambar gajah mungkin sulit karena itu sudah dipakai sebagai lambang negara Thailand," katanya.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Sleman Pranowo mengatakan, untuk pembicaraan motif batik khas daerah saat ini belum ada proses kelanjutannya.
"Pembicaraan terakhir dengan pembatik baru membahas hingga gambar burung punglor, yang lain belum," katanya.
Menurut dia, burung punglor sendiri menjadi maskot dalam Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang digelar di Sleman.
"Kami belum tahu apakah nanti, gambar burung punglor ini yang akan menjadi ciri khas motif batik Sleman, atau gambar apa yang akan dipakai. Saat ini masih terus didiskusikan," katanya. (V001/M008)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011