Jakarta (ANTARA) - Aktivis perempuan yang juga Ketua Umum Rumah Perempuan dan Anak (RPA) Ai Rahmayanti, mengapresiasi DPR RI yang telah mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Ketuk palu pengesahan yang dilakukan Ketua DPR Puan Maharani dalam sidang paripurna, Selasa (12/4) diharapkan benar-benar menjadi payung hukum bagi perempuan yang selama ini cenderung ditempatkan sebagai objek dalam setiap kali terjadi kekerasan seksual.
"Disahkannya UU itu pertanda baik karena negara memang wajib hadir menjamin perlindungan perempuan yang selama ini kerap menerima kekerasan seksual," kata Ai Rahmayanti, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Wamenkumham: Partisipasi publik penting dalam perumusan suatu UU
Tokoh perempuan Islam ini menjelaskan, bahwa ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, yang tertera langsung dalam Alquran tidaklah kurang untuk bisa menjadi landasan maupun pijakan yang relevan dalam hak asasi perempuan (HAP), yakni untuk mengangkat martabatnya dan menjauhkannya dari praktik perlakuan kekerasan.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S An Nur ayat 33, yang artinya: "Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Barangsiapa memaksa mereka, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa".
Oleh karena itu, mantan Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (Kopri) ini menyambut baik disahkannya UU TPKS yang berpihak pada perlindungan perempuan, baik itu dalam konteks perorangan maupun keluarga.
"Kekerasan seksual adalah kemungkaran yang harus dihapuskan dan ditindak," tegasnya.
Baca juga: Menteri PPPA segera susun peraturan pelaksana pascapengesahan RUU TPKS
Ai Rahmayanti menjelaskan, korban kekerasan seksual wajib dilindungi dan dipulihkan, demikian pula masyarakat harus dilindungi dari menjadi korban atau pelaku.
Perlindungan individu dan masyarakat merupakan tujuan syariat (maqashidus syariah). Perlindungan ini tidak bisa dilakukan hanya oleh orang per-orang. Oleh karenanya negara wajib hadir.
"Negara sebagai ulil amri wajib hadir untuk memberikan perlindungan secara sistemik mulai dari pencegahan, proses hukum yang menjamin keadilan bagi korban maupun pelaku, hingga pemulihan korban dan rehabilitasi pelaku," jelasnya.
Dalam rangka mewujudkan maqashidus syariah dan kemaslahatan rakyat sebagaimana disebutkan di atas, UU TPKS yang baru saja disahkan bisa menjadi payung hukum yang memadai, karena payung hukum itu adalah sarana mewujudkan tujuan syariah (maqashidus syariah) dan kemaslahatan.
Setelah pengesahan ini, DPR masih perlu mengawal dan memastikan UU itu dijalankan dengan baik oleh pemerintah dan lembaga yudikatif.
"Sangat diperlukan pengawasan atas pelaksanaan serta kepastian segera diterbitkan aturan turunan sebagai perangkat operasionalnya, agar UU TPKS benar-benar bisa diterapkan sesuai harapan," katanya.
Ai Rahmayanti berharap, dengan kondisi saat ini representasi perempuan di DPR cukup besar, mencapai 120 orang atau 20,8 persen. Apalagi, DPR saat ini juga dipimpin oleh sosok perempuan, Puan Maharani, isu mengenai perlindungan terhadap perempuan tidak hanya berhenti pada pengesahan UU TPKS saja.
Baca juga: Wahana Visi: Pengesahan UU TPKS momen bersejarah perlindungan anak
Baca juga: Kompolnas harapkan Polri pedomani UU TPKS yang baru disahkan
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2022