Jakarta (ANTARA News) - Pernahkah anda membayangkan bisa terbang membelah udara, melayang-layang bagai burung walet menjelajah langit biru di angkasa?
Memang agak sulit membayangkan jika kita manusia bisa menumbuhkan sayap kemudian terbang seperti sosok malaikat yang biasa digambarkan film-film Hollywood.
Keinginan manusia ingin terbang merupakan keinginan yang sudah ada sejak zaman kakak beradik Wibur dan Orvile Wright atau yang lebih kita kenal dengan sebutan Wright Bersaudara asal Amerika.
Keduanya dinyatakan telah berhasil menemukan mesin terbang manusia pertamakali pada tahun 1903.
Namun, hari ini kita bisa dengan mudahnya menikmati sensasi untuk terbang dan merasakan pengalaman seperti burung, berkat kenekatan seorang penerjun payung David Barish pada tahun 1963 yang melakukan eksperimen terjun dari kawasan berbukit di Montana bagian Timur, AS. Olah raga tersebut dinamakan Paralayang.
Paralayang adalah olahraga terbang bebas dengan menggunakan sayap kain (parasut) yang lepas landas dengan kaki untuk tujuan rekreasi atau kompetisi.
Pilot atau orang yang mengemudikan parasut tersebut duduk di suatu sabuk (harness) yang menggantung di bawah sayap kain yang bentuknya ditentukan oleh ikatan tali dan tekanan udara yang memasuki ventilasi di bagian depan sayap
Terbang Melintasi Awan
Nah, pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kita bisa mencoba merasakan sensasi tersebut? caranya sangat gampang. Olah raga paralayang di Indonesia dewasa ini sudah menjadi sebuah hobi yang mulai digeluti sebagian orang, khususnya bagi para pecandu adrenalin.
Beberapa waktu lalu, ANTARA berkesempatan untuk mencoba terbang membelah angin di Parangtritis, Yogyakarta dengan paralayang dan benar-benar menikmati pemandangan pantai yang indah di ujung selatan Pulau Jawa.
Menanti angin panas yang biasa disebut dengan "Thermal" selama beberapa jam di atas salah satu bukit dengan ketinggian sekitar 400 meter diatas permukaan laut (dpl).
Hingga akhirnya giliran ANTARA untuk melakukan penerjunan perdana dan hanya mempercayakan nyawa kepada sang "Tandem Master" di bawah parasut.
"Subhanallah," adalah kata pertama yang keluar dari mulut setelah berlari turun dari bukit untuk mengangkat bobot dua manusia yang terbungkus dalam sebuah harness yang rumit.
Tidak lupa dengan membawa sebuah kamera digital SLR, kita juga bisa mengabadikan pemandangan dari atas selama melayang-layang di udara selama kurang lebih 15 menit mengitari langit Parangtritis.
Hari itu, ANTARA beserta lima orang lainnya dipandu oleh Nixon Ray, instruktur paralayang di Fly Indonesia Paragliding.
Menurut Nixon, semua orang juga berhak mencoba olahraga ini, meskipun bagi mereka yang takut dengan ketinggian.
Awal Paralayang di Indonesia
Paralayang mulai muncul di Indonesia dengan berdirinya Kelompok Terjun Gunung MERAPI di Yogyakarta pada bulan Januari 1990.
Pada saat itu olahraga paralayang lebih dikenal dengan nama Terjun Gunung, pendiri klub ini adalah Dudy Arief Wahyudi dan Gendon Subandono.
Keduanya mempelajari paralayang secara mandiri melalui buku manual dan majalah paralayang yang mereka miliki, dimana pada saat itu bukit-bukit pasir di Parangtritis, Yogyakarta menjadi tempat latihan awal olahraga ini.
Awalnya Dudy Arief yang alumni UGM Yogyakarta ini mengaku kenal olah raga paralayang dari temen seorang kenalannya dari luar negeri, bersama Gendon, Lilik Darmono, dan Ferrry, Maskun, merupakan angkatan pertama atlet paralayang Indonesia, ujar Nixon.
Bagi pemula, ia harus selalu ditemani oleh seorang "Tandem Master" yang bersertifikat (lisenced) yang bisa didapatkan dari sekolah paralayang yang ada di Indonesia.
"Sertifikat atau lisence dikeluarkan oleh Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) dan diakui oleh FAI (Federation Aeronautique Inernationale), lisensi kita sdh berstandart international," ujar nixon yang memiliki sekolah paralayang di Puncak Jawa Barat.
Berdasarkan FAI (Federation Aeronautique Internationale) ada tingkatan rating utk license nya, setiap sekolah paralayang bisa mengeluarkan license melalui ujian praktik dan teori, tambah Nixon yang mengaku ia mendapatkan izinnya di Perancis dan Swiss selama dua bulan.
"Untuk mengambil license pemula diperlukan 3,5 jam saja, namun untuk lisence pilot butuh 20 jam," ujar Nixon.
Paralayang di Indonesia
Menurut Nixon, perkembangan olah raga dirgantara ini cukup pesat terlebih sejak tahun 2000 dengan banyaknya klub di seluruh Indonesia,
"Klub saya (Fly Indonesia) membernya sudah 200 orang lebih, namun total anggota keseluruhan di Indonesia telah mencapai 800 orang, bahkan lebih," kata Nixon.
Untuk dapat merasakan sensasi terbang ini, hanya dibutuhkan minat dan kondisi badan yang sehat saja.
"Tidak perlu membeli sendiri glider (parasut) karena bisa pinjam di klub paralayang dengan harga sekitar sekitar Rp300.000 hingga Rp400 ribu sekali terbang," tambah Nixon.
Apa beda paralayang dan terjun payung? Nixon menuturkan bahwa terjun payung khusus dibuat hanya untuk turun saja, namun "glider" (parasut) paralayang telah didesain agar dapat terbang tinggi seperti sayap pesawat terbang
Menurut Nixon, olah raga paragliding ini lebih mudah di bawa kemana-mana dan siapa saja bisa dengan mudah ikut belajar paralayang.
Namun, jika memang serius dan ingin memiliki sebuah glider, seorang atlet harus merogoh kocek setidaknya Rp30 juta atau Rp15 juta untuk glider bekas.
Nixon mengharapkan olah raga ini bisa berkembang di Indonesia dan mendapatkan dukungan dari masyarakat dan pemerintah.
"Saya berharap paralayang bisa menjadi lebih "exist" di kejuaran dunia dan untuk para pengelola sekolah paralayang agar lebih banyak lagi di daerah-daerah sambil memanfaatkan keindahan alam Indonesia," ujar Nixon.
Karena Indonesia memiliki potensi paralayang yang besar dengan kontour geografisnya dan pemandangan alamnya yang indah, tutup Nixon.
(T.A050/ /B/A011)
Oleh Ageng Wibowo
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2011