Jakarta (ANTARA News) - Seberapa pentingkah film? Begitulah pertanyaan yang membuka diskusi mengenai film di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI), Depok, Kamis. Diskusi yang mengambil judul "Bincang Film" itu menghadirkan pembicara/ penulis naskah Monty Tiwa, sutradara Rudi Soedjarwo, dan produser Krishto Damar Alam. "9 Naga" adalah karya teranyar ketiga sineas. "Kemajuan sebuah negara dapat terlihat dari film mereka. Dalam film terdapat semua unsur budaya, maka film akan memiliki pengaruh kuat pada kehidupan masyarakat penontonnya sehari-hari," kata Monty mengawali perbincangan. Ia kemudian membandingkan kondisi Korea Selatan dan Indonesia, negara yang sama-sama dihantam peperangan dalam waktu hampir bersamaan, "Korea juga mulai dari `abu` sisa perang. Tapi lihat, saat ini mereka lebih maju." Film mereka sudah diperhitungkan di festival-festival internasional, sedangkan kita masih di sini-sini saja." Menurut penulis skenario peraih Piala Vidia itu, kemajuan film Korea Selatan tidak lepas dari dukungan pemerintah dan masyarakatnya yang setia menonton film lokal. "Sekarang kita sendiri dapat melihat bagaimana Won Bin (aktor Korea Selatan) dapat lebih terkenal di Indonesia dibandingkan aktor lokal sendiri. Film mereka berhasil menjadi duta budaya. Ujung tombak budaya bangsa," ujarnya. Media paling efektif Menyambung Monty, Rudi mengatakan bahwa film merupakan media paling efektif untuk menyampaikan sesuatu. "Komunikasi lewat film itu paling efektif. Adanya unsur audio dan visual memudahkan orang memahami pesan yang ingin disampaikan. Belum lagi adanya konflik dan dramatisasi. Dengan dua hal itu emosi penonton akan terbawa, dengan demikian pesan dapat tertanam lebih dalam," kata peraih Piala Cintra untuk film "Ada Apa dengan Cinta" itu. Masalahnya. menurut Rudi ada pada cara berpikir kebanyakan orang Indonesi yang salah. "Mayoritas film dibuat untuk mencari keuntungan, tanpa mementingkan pesan. Film-film semacam itu sering hanya mengekor bentuk film yang sudah laku di pasaran," ujarnya. Hal tersebut menurutnya dapat membahayakan kelangsungan film Indonesia, "Bila hanya mengekor, maka penonton akan bosan dan menganggap kualitas film Indonesia begitu-begitu saja. Saat ada film yang benar-benar baik, mereka sudah bosan dan melewatkan kesempatan untuk melihat film tersebut. Sabagai produser, Krishto mengaku tertarik memodali sebuah film karena ingin berbagi sebuah karya yang berkualitas dan menyentuh dengan masyarakat. "Setelah menonton film-film sahabat saya, Rudi, saya sadar bahwa dalam dunia yang saya geluti sebelumnya saya tidak memiliki kesempatan berbagi itu tadi. Jadi saya minta untuk dilibatkan dalam proyek Rudi dan hingga sekarang menjadi produser," ujar pria yang pernah bergelut di dunia advertising itu. Krishto kemudian menemukan bahwa meskipun tidak sebesar penghasilan sebelumnya, membuat sebuah film juga menguntungkan. Diskusi yang diselenggarakan oleh Teater Sastra, kelompok mahasiswa pecinta seni peran panggung, dihadiri oleh seratus lebih mahasiswa dari berbagai fakultas. Sebagian dari mereka berharap mendapatkan ilmu tentang film dari para praktisinya langsung. Mereka tertarik untuk dapat meramaikan dunia film Indonesia dengan karya mereka. Untuk menjawab permintaan itu, Rudi tidak pelit-pelit memberikan tips. Antara lain tentang cara pemilihan lokasi hingga cara mengarahkan aktor atau aktris. "Membuat film itu mudah," demikian Rudi Soedjarwo. (*)

Copyright © ANTARA 2006