Jakarta (ANTARA News) - LSM Indonesia Pemantau Aset (Inpas) menemukan adanya modus penggelembungan anggaran dalam pengelolaan belanja subsidi 2009 yang berpotensi merugikan negara hingga Rp1,9 triliun.
Kepada pers di Jakarta, Senin, Direktur Eksekutif Inpas, Boris Korius Malau mengemukakan Kemenkeu melalui Direktorat Jenderal Anggaran telah merealisasikan anggaran Belanja Subsidi tahun 2009 sebesar Rp138.082.160.271.329.
"Atas realisasi tersebut ditemukan selisih mencapai Rp1,9 triliun yang berpotensi merugikan keuangan negara dengan modus penggelembungan anggaran," ujar Boris seraya menambahkan data tersebut terungkap dalam hasil temuan BPK di Dirjen Anggaran Kemenkeu selaku kuasa pengguna anggaran.
Dikemukakannya selisih terbesar terjadi pada subsidi listrik yang dikelola PLN yang mencapai Rp1,66 triliun. Menurut data BPK, subsidi listrik yang telah direalisasikan PLN pada 2009 mencapai Rp55,38 triliun sedangkan kebutuhan riil hasil koreksi yang dilakukan BPK hanya sebesar Rp53,72 triliun, sehingga ditemukan selisih mencapai Rp1,66 triliun.
Hal tersebut, ujar Boris, terjadi karena PT PLN masih membebankan biaya yang tidak diperkenankan sesuai kriteria PMK No.111/PMK.02/2007, diantaranya menagihkan penjualan listrik yang bukan merupakan sasaran subsidi, dan membebankan susut energi listrik sebesar nilai maksimal bukan berdasarkan realisasinya.
Selanjutnya pada subsidi BBM, menurut dia, juga ditemukan selisih sebesar Rp33 miliar. "Hasil koreksi BPK atas subsidi Jenis BBM Tertentu (JBT) tahu 2009 hanya sebesar Rp34.900.304,18 juta, sementara yang direalisasikan sebesar Rp34.933.317,95 juta.
Hal tersebut disebabkan, karena Pertamina masih membebankan pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang membebani subsidi JBT, penjualan solar kepada SPBU non subsidi, kelebihan penyaluran BBM bersubsidi dari alokasi yang ditetapkan dalam kontrak, dan menyalurkan JBT bersubsidi kepada sektor industri.
Demikian pula dengan subsidi pupuk, Inpas menemukan selisih mencapai Rp198,8 miliar dikarenakan beberapa perusahaan pengelola subsidi pupuk seperti PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk Sriwijaya, dan PT Petrokimia Gresik masih membebankan biaya-biaya yang seharusnya tidak dapat diganti oleh Pemerintah.
"Selain itu terjadi pula kelebihan mencatat realisasi kuantum penyaluran pupuk urea ke sektor pertanian, sehingga nilai subsidi pupuk yang dibutuhkan atas koreksi BPK hanya sebesar Rp15.300.008,62 juta, sementara realisasi atau tagihan BUMN Operator yaitu sebesar Rp15.498.836,84 juta," ujar Boris.
Hal serupa terjadi pada subsidi benih. BUMN operator masih menetapkan harga pokok benih bersubsidi tahun 2009 lebih tinggi dari harga yang ditetapkan dalam Peraturan Menkeu dan harus dikenakan penalti berupa pengurangan profit margin sebesar 10 persen dari selisih harga pokok tersebut.
Tak hanya itu, penyaluran subsidi Raskin tahun 2009 sebesar Rp12,987 triliun, yang dikelola Kemenko Kesra selaku KPA dan Perum Bulog sebagai operator, tidak memperlihatkan aturan dan mekanisme yang jelas serta diduga bertolak belakang dengan PMK No 99/PMK.02/2009 tentang subsidi beras untuk masyarakat berpendapatan rendah tahun 2009.
Dengan demikian, tambah Boris, pengelolaan belanja subsidi tahun 2009 sangat memprihatinkan dengan ditemukannya selisih sebesar Rp1,9 triliun yang berpotensi merugikan keuangan negara. Pertanggungjawabannya pun tidak jelas apakah selisih tersebut dikembalikan ke negara apa tidak.
"Untuk itu, kami mengharapkan Menkeu dan Dirjen Anggaran agar menjelaskan pertanggungjawaban selisih Rp1.9 triliun kepada publik dan segera melakukan pengembalian ke kas negara," ujarnya.
(T.D011/R018)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011