Purwokerto (ANTARA News) - Anggota Komisi Yudisial (KY), Taufiqurrahman Sahuri, mengungkapkan bahwa jumlah hakim "nakal" yang diadukan masyarakat kepada lembaganya cenderung meningkat.
"Itu banyak sekali, dari Desember hingga Mei sudah ada 1.400-1.500, saat ini mungkin sudah sampai 1.600-an. Sepertinya ada kecenderungan naik," kata Taufiqurrahman usai menjadi pembicara dalam "Talkshow Nasional: Konstitusi RI Berbasis Islami" yang diselenggarakan Unit Kerohanian Islam Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, di Gedung Justisia 3 Unsoed Purwokerto, Jawa Tengah, Sabtu.
Menurut dia, peningkatan jumlah hakim "nakal" yang dilaporkan masyarakat ini kemungkinan sebagai dampak pemberitaan media massa, terutama dalam kasus Antasari.
Dengan demikian, kata dia, masyarakat banyak yang tahu, jika ternyata mereka bisa mengajukan laporan kalau ada sesuatu yang aneh dalam persidangan.
Mengenai vonis bebas yang dijatuhkan pengadilan di beberapa daerah kepada sejumlah terdakwa kasus korupsi, dia mengatakan, saat ini kasus tersebut seolah menjadi tren.
"Ini kayaknya tren ya, di Subang, Bandung, Lampung Tengah, dan Lampung Timur. Itu dibebaskan semua," katanya.
Oleh karena terjadi hampir bersamaan, kata dia, vonis bebas tersebut akhirnya menjadi pertanyaan masyarakat yang curiga adanya sesuatu di balik putusan bebas itu.
Menurut dia, Komisi Yudisial pro-aktif untuk menjawab kecurigaan masyarakat tersebut.
Dalam hal ini, lanjutnya, pengawasan Komisi Yudisial terhadap tingkah laku hakim dilakukan secara pasif dengan menerima laporan dari masyarakat dan aktif jika hal itu telah menjadi pembicaraan publik.
"Pengawasan kita pasif, yakni menunggu laporan dari masyarakat. Tetapi kita akan aktif kalau hal itu menjadi pembicaraan publik," kata dia menegaskan.
Terkait vonis bebas terdakwa korupsi Mochtar Mohammad yang merupakan Wali Kota Bekasi nonaktif, dia mengatakan, Komisi Yudisial telah menghubungi Pengadilan Tipikor di Bandung untuk meminta salinan putusan kasus tersebut.
"Jumat (21/10) kemarin katanya akan dikasih. Kemudian kita juga meminta surat dakwaan dari jaksa karena kami dapat kritikan jangan-jangan dakwaan jaksa kurang kuat atau jaksanya masuk angin," katanya.
Menurut dia, vonis bebas tersebut tidak menutup kemungkinan karena adanya jaksa "nakal".
Selain itu, kata dia, pihaknya juga meminta rekaman sidang kasus tersebut.
"Kalau data-datanya sudah ada, kita akan membahas khusus itu. Rekaman ini akan kita pantau seluruhnya, apakah dalam penanganan persidangan ada ketidakjujuran atau melanggar etika, ada siasat misalnya dengan mengabaikan saksi-saksi yang sebenarnya penting sehingga terdapat kebohongan, atau dalam memimpin sidang bersikap memihak," katanya.
Dia mengatakan, pihaknya berharap dalam tiga minggu dapat menemukan jawaban atas kasus vonis bebas tersebut.
Terkait kemungkinan adanya jaksa "masuk angin" dalam kasus vonis bebas tersebut, dia mengakui, Komisi Yudisial tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi jaksa.
Meskipun demikian, kata dia, Komisi Yudisial akan melaporkan temuannya terkait jaksa "masuk angin" kepada Komisi Kejaksaan.
"Kita akan laporkan ke Komisi Kejaksaan (Komjak) kalau ada temuan. Biar Komjak yang akan memberi penilaian," katanya menambahkan. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011