Peningkatan terhadap akses keuangan belum dibarengi dengan peningkatan pengetahuan masyarakat akan layanan keuangan yang diaksesnya.

Jakarta (ANTARA) - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai literasi keuangan dan digital kepada masyarakat perlu menjadi prioritas Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2022-2027.

Penguasaan literasi keuangan yang memadai akan membantu masyarakat dalam memilih produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan dan perencanaannya.

“Peningkatan terhadap akses keuangan belum dibarengi dengan peningkatan pengetahuan masyarakat akan layanan keuangan yang diaksesnya,” kata Peneliti CIPS Thomas Dewaranu dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat.

Baca juga: Airlangga: Inklusi keuangan dipercepat agar ekonomi tumbuh tinggi

Tak hanya literasi keuangan, ia berpendapat masyarakat pun perlu mendapatkan edukasi mengenai literasi digital, seiring dengan pandemi COVID-19 yang mengakselerasi kegiatan masyarakat pada ranah digital, termasuk layanan dan transaksi keuangan.

Digitalisasi jasa dan produk keuangan memang meningkatkan akses masyarakat Indonesia terhadap produk keuangan sesuai dengan kebutuhan masing-masing, namun di sisi lain peningkatan terhadap akses keuangan belum dibarengi dengan peningkatan pengetahuan masyarakat akan layanan keuangan yang diaksesnya.

Kesenjangan antara literasi keuangan dan inklusi keuangan terlihat dari survei terakhir yang dilakukan oleh OJK pada 2019, yakni inklusi keuangan mencapai 76 persen dan tidak sebanding dengan literasi keuangan yang masih di level 38 persen.

Artinya, lanjut Thomas, masyarakat sudah banyak mengakses jasa dan produk keuangan tanpa ada pemahaman yang mumpuni tentang jenis serta risiko dari masing-masing produk dan layanan keuangan, sehingga berpotensi meningkatkan insiden pengambilan keputusan keuangan yang buruk atau bahkan terjerat ke dalam produk-produk ilegal.


Baca juga: Melek finansial tangkis "crazy rich" palsu

Penelitian CIPS menunjukkan produk keuangan yang semakin berkembang juga menjadi tantangan bagi konsumen, seperti produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI) atau unit link misalnya, yang kerap panen keluhan dari para penggunanya.

Data Sistem Aplikasi Pelaporan Edukasi dan Perlindungan Konsumen (SiPEDULI) menunjukkan jumlah keluhan terkait asuransi unit link meningkat dari 500 komplain pada tahun 2015 menjadi lebih dari 2.600 komplain pada tahun 2017, yang menjadi indikasi akan keterbatasan pemahaman di kalangan konsumen PAYDI terhadap produk yang diaksesnya.

Maka dari itu, ia berharap Surat Edaran OJK Nomor 5/SEOJK.05/2022 yang baru diterbitkan diharapkan mampu memitigasi hal ini.

Baca juga: Indef: Cegah penipuan investasi lewat literasi keuangan dan digital

Selain itu, OJK juga perlu mendukung perkembangan financial technology (fintech) yang banyak memberikan manfaat, khususnya di bidang peningkatan inklusi keuangan, namun tanpa menghilangkan ciri khasnya.

Langkah-langkah pembenahan seperti peningkatan modal fintech P2P lending, peningkatan kewajiban disbursement ke daerah non Jawa dan Sumatera, serta penyaluran terhadap usaha-usaha UMKM produktif, menurut Thomas, perlu dilakukan tanpa mengganggu minat investor di sektor fintech, termasuk investor ritel yang menjadi peminjam dalam layanan P2P lending.

“Ke depan memang perlu dilihat apakah OJK akan mengatur fintech secara activity-based atau entity-based, atau kombinasi dari keduanya. Yang manapun itu, jangan sampai iklim yang mendukung inovasi yang selama ini sudah berjalan baik di sektor fintech menjadi terdisrupsi,” tutup Thomas.

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022