Jakarta (ANTARA News) - Kalangan industri semen menganggap pemerintah tidak memiliki alasan kuat untuk menetapkan semen sebagai objek cukai untuk meningkatkan penerimaan negara, di luar objek cukai yang sudah ada selama ini, yaitu tembakau, alkohol dan produk turunannya. Demikian kesimpulan dari Rapat Dengar Pendapat antara Pansus RUU Pabean dan Cukai dengan kalangan industri semen, seperti PT Semen Gresik Tbk, PT Indocement Tunggal Perkasa Tbk dan PT Holcim Indonesia Tbk, di gedung DPR/MPR Jakarta, Kamis. "Adalah sangat tidak tepat waktunya untuk memberlakukan beban baru pada industri semen di tengah kondisi yang kondusif," kata Chief Executive Officer (CEO) PT Indocement Tunggal Perkasa Tbk, Daniel Havalle. Dia mengatakan Industri semen adalah industri yang padat modal, sehingga seharusnya pemerintah menunggu hingga ada laba operasional. Di perusahaannya, menurut Daniel, sejak 1997 tidak ada pemegang saham PT Indosement yang menerima dividen. Menurut dia, kenaikan harga energi pada tahun lalu telah menambah biaya operasi 30 persen dan tidak bisa dikalkulasi pada kenaikan harga jual karena permintaan yang rendah. "Dengan kemungkinan (naik biaya produksi, red) 20 persen saja, saya kira permintaan akan semakin turun," katanya. Jika pemerintah ingin mengenakan cukai pada semen dengan alasan mengotori lingkungan, dia menambahkan, seharusnya yang digunakan sebagai parameter ukuran adalah juga dari sisi lingkungan, dan tidak menilai dari produksi. "Tidak ada satu pun riset atau studi yang mendukung bahwa produksi atau pemakaian semen akan menimbulkan dampak negatif pada masyarakat dan lingkungan," katanya Bahkan, tambahnya, Kementerian Lingkungan Hidup memberikan kepada hampir seluruh produsen semen peringkat "hijau" atau "biru" dalam rangka PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Perusahaan). Dia menambahkan sudah ada berbagai pajak dan retribusi daerah untuk industri semen, yaitu Pajak Penghasilan (PPh 22) 0,25 persen dari harga jual, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen dari harga jual, PPh 29 30 persen dari pendapatan bersih, Retribusi Pertambangan, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak untuk Air Permukaan dan Bawah Tanah, Pajak Penerangan Jalan serta Pajak Pelabuhan dan Retribusi. Sedangkan Chief Executive Officer (CEO) PT Holcim Indonesia, Timothy D Mackay mengatakan daripada mengejar penerimaan dari ekspor, pemerintah seharusnya mengejar pada pendapatan dari sektor impor.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006