Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyambut baik terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana.
"Kehadiran Perma ini dapat mengisi kekosongan pengaturan teknis pelaksanaan restitusi dan kompensasi," kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Setelah resmi diundangkan melalui Berita Acara Negara Tahun 2022 Nomor 225, lanjutnya, Perma Nomor 1 Tahun 2022 tersebut mengikat semua pihak yang beracara dalam proses peradilan pidana.
Menurut dia, lahirnya Perma itu menjadi harapan baru bagi korban tindak pidana untuk dapat merealisasikan mekanisme ganti kerugian dalam bentuk restitusi secara nyata dan tidak berhenti di atas kertas berupa putusan pengadilan saja.
Selama ini, LPSK mengalami kendala untuk memastikan korban tindak pidana benar-benar menerima pemberian restitusi dari pelaku. Hal itu karena ada kekosongan pengaturan dalam aspek teknis pelaksanaan eksekusi atas putusan pengadilan.
Baca juga: ICJR dorong keterlibatan jaksa awasi restitusi dalam RUU TPKS
Berangkat dari masalah itu, LPSK kemudian mengirimkan surat ke MA dan langsung direspons dengan mulai melakukan koordinasi. LPSK memberikan sejumlah masukan hingga Perma tersebut terbentuk, menurut Hasto.
Substansi pengaturan restitusi yang perlu mendapat perhatian dalam Perma itu ialah terkait mekanisme penitipan uang restitusi, banding dan/atau kasasi restitusi, serta pengajuan restitusi oleh korban dengan tidak menghapus haknya untuk mengajukan gugatan perdata.
Selanjutnya, ada pula soal pelaksanaan pemberian restitusi tentang sita harta kekayaan pelaku yang dilelang untuk membayar restitusi serta tata cara pengajuan dan pemeriksaan permohonan restitusi setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Substansi dalam Perma Nomor 1 Tahun 2022 itu merupakan kebijakan progresif MA yang merangkum semua pengaturan mengenai restitusi dan kompensasi di berbagai peraturan perundang-undangan. Hal itu lalu diwujudkan menjadi standar peraturan yang wajib diikuti semua pihak dalam proses peradilan pidana.
Selain restitusi, substansi Perma Nomor 1 Tahun 2022 juga mengatur kompensasi bagi korban pelanggaran HAM berat. Hal itu dapat diberikan dalam bentuk non-uang serta pengajuan dan pemeriksaan permohonan kompensasi dalam perkara terorisme yang korbannya tidak mengajukan kompensasi.
Termasuk juga pengajuan serta pemeriksaan permohonan kompensasi dalam perkara terorisme yang pelakunya tidak diketahui atau meninggal dunia, ujarnya.
Baca juga: Menteri PPPA : Vonis mati dan restitusi Herry Wirawan sudah tepat
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022