Samarinda (ANTARA News) - Laju degradasi hutan nasional dalam lima tahun terakhir sangat memprihatinkan yang rata-rata mencapai 1,6 hingga 2,8 juta hektar per tahun. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Departemen Kehutanan, M Arman Mallolongan, pada Rapat Koordinasi Illegal Logging di Samarinda, Kamis, menyatakan, semua pihak harus menyamakan langkah dalam mengatasi kerusakan hutan yang begitu memprihatinkan. Laju degradasi hutan itu, kata Arman terjadi sejak lima tahun terakhir atau sejak tahun 2000 yang kondisinya 15 kali lebih parah ketimbang kondisi sebalumnya, atau bisa dibilang sejak dimulainya pelaksanaan otonomi daerah. "Saya tidak bilang degradasi hutan semakin parah itu karena otonomi daerah diberlakukan, namun data yang ada menunjukan memang kerusakan hutan terakhir ini cukup memprihatinkan," jelasnya. Dengan kondisi itu, kata dia, setidaknya negara dirugikan sekitar Rp30 triliun setiap tahun akibat illegal logging, illegal timber trade serta pasar kayu gelap dunia dan mafia perdagangan kayu internasional. Selain mengalami kerugian finasial, Indonesia juga harus menderita akibat rusaknya kondisi hutan yang hingga kini masih menjadi salah satu paru-paru dunia, sementara itu pemberatasan di lapangan masih mengalami berbagai hambatan sehingga belum maksimal. "Tidak heran jika degradasi hutan secara nasional saat ini mencapai 59,7 juta ha atau rata-rata 1,6 juta hingga 2,8 juta ha setiap tahun," katanya. Ironisnya, kata Arman pelaku pembalakan dan mafia perdagangan kayu internasional itu melibatkan oknum aparat keamanan dan petugas kehutanan yang mentalnya sangat disesalkan. Bahkan, katanya, sebagian masyarakat sekitar hutan juga terlibat dalam pembalakan akibat rayuan dan iming-iming dari sejumlah cukong atau pemodal yang membiayai kegiatan ilegal itu, baik yang bestatus WNI maupun asing. Salah satu contohnya, kata Arman banyak cukong kayu dari Malaysia yang berkeliaran di kawasan perbatasan Kaltim dan Kalbar yang selalu mencuri kayu dari Indonesia dengan memanfaatkan sejumlah masyarakat di sekitar hutan. Jaringan Mafia Kuatnya jaringan mafia perdagangan kayu ilegal itu, membuat pengungkapan kasusnya juga tersendat, terbukti dari 41 daftar pelaku mafia kayu ilelgal nasional yang diberkan oleh departemen kehutanan, baru satu yang tertangkap dan diproses, yakni di Kalbar. Berbagai kegiatan pembalakan itulah yang membuat kondisi hutan nasional semakin terpuruk, berdasarkan penelitian jumlah kayu yang diambil secara illegal itu setidaknya mencapai 50 juta M3/tahun. "Lebih menyedihkan ternyata pembalakan itu tidak saja merambah hutan produksi, namun sudah merusak hutan lindung dan hutan konservasi," katanya. Kendati demikian, kata Arman keterlibatan masyarakat dalam pembalakan akibat kondisi ekonomi yang membuat para cukong memanfaatkannya agar ikut dalam kegiatan illegal dengan imbalan uang yang tidak seberapa. Masyarakat sekitar hutan diperalat untuk menebang pohon dan diberi imbalan yang tidak sebanding dengan harga kayu yang sebenarnya, namun bagi masyarakat jumlahnya sudah besar dan dapat memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari. Hal itu bisa dipahami karena masyarakat yang tinggal di kawasan hutan memang mudah diperalat karena 10,2 juta jiwa penduduk miskin di Indonsia tinggal di kawasan hutan. "Dari jumlah itu enam juta jiwa di antaranya dengan tingkat perekonomian sangat tergantung pada hasil hutan," ujar Arman. Sementara itu, berbagai upaya untuk melakukan pemberantasan pembalakan masih mengalami kendala di lapangan, antara lain akibat kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan bahan baku industri, penegakan hukum yang lemah dan banyaknya sejumlah industri kayu penggergajian yang beroperasi tanpa izin. Pasar gelap kayu dunia dan mafia perdagangan kayu internasional terus menerima pasokan kayu illegal, banyak warga miskin yang dimanfaatkan para cukong kayu dan sebagian daerah masih menganggap hasil kayu menjadi primadona pendapatan asli daerah (PAD). Kondisi itu semakin sulit, katanya menambahkan ketika tekad bersama untuk memberantas illegal logging dan illegal timber trade belum terwujud secara optimal.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006