Bengaluru (ANTARA) - Sebagian besar mata uang negara-negara berkembang akan terus berjuang melawan dolar yang kuat selama tahun mendatang, karena Federal Reserve AS akhirnya memberikan pengetatan kebijakan agresif, menurut jajak pendapat Reuters dari terhadap para ahli strategi valas.
Bank-bank sentral di ekonomi pasar berkembang telah bersiap untuk ini selama berbulan-bulan dengan menaikkan suku bunga acuan mereka. Tetapi momen aktual ketika Fed memberikan kenaikan suku bunga setengah poin dan pengurangan neraca yang cepat masih penting.
Risalah dari pertemuan Fed Maret menunjukkan para pejabat umumnya setuju untuk memangkas neraca bank sentral sebesar 95 miliar dolar AS per bulan, memberikan dorongan besar untuk greenback yang sudah naik tinggi.
Jajak pendapat Reuters terbaru dari lebih dari 50 ahli strategi mata uang menunjukkan hampir semua mata uang negara berkembang akan melemah selama 12 bulan mendatang.
Bahkan mata uang yang telah terseret lebih tinggi oleh siklus komoditas yang sedang berlangsung dan pengetatan kebijakan masing-masing bank sentral, seperti real Brazil dan rand Afrika Selatan, diperkirakan akan menyerahkan sekitar setengah dari kenaikan tersebut dalam setahun.
Mata uang ini masing-masing telah naik sekitar 18 persen dan 9,0 persen sejauh pada tahun ini.
Peso Meksiko - lindung nilai valuta asing pasar berkembang klasik - diperkirakan akan kehilangan lebih dari tiga kali lipat kenaikannya untuk tahun ini dalam 12 bulan.
"Dalam menghadapi kenaikan tajam Fed yang akan segera terjadi dan dengan imbal hasil AS bergerak cepat lebih tinggi, ketahanan EMFX (mata uang negara berkembang) tetap agak mengejutkan," kata Paul Meggyesi, kepala strategi valas di JPMorgan.
"Risiko khusus untuk EMFX adalah ketika The Fed mulai memberikan kenaikan suku bunga, kenaikan lebih lanjut dalam imbal hasil AS dapat lebih didorong oleh imbal hasil riil daripada titik impas inflasi."
Meggyesi menambahkan ini secara historis negatif untuk mata uang pasar berkembang.
Baca juga: Dolar menguat, dipicu permintaan uang aman saat konflik Rusia-Ukraina
Sementara sebagian besar mata uang pasar berkembang telah berhasil lolos dari serangan pengetatan kebijakan Fed yang relatif tanpa cedera, rubel Rusia dan lira Turki adalah pengecualian penting.
Rubel, yang turun setengahnya dalam sebulan terakhir dan mencapai titik terendah sepanjang masa di 150 per dolar setelah invasi Rusia ke Ukraina, diperkirakan melemah lebih dari 15 persen menjadi 94,2 per dolar dalam setahun dari 78,5 saat ini.
Mata uang Rusia didorong oleh perusahaan-perusahaan yang berfokus pada ekspor yang menjual mata uang asing dan aktivitas importir yang rendah. Namun analis memperingatkan reli rubel baru-baru ini tidak akan bertahan lama.
"(Keuntungan baru-baru ini) bukanlah cerminan sebenarnya dari situasi fundamental di Rusia. Ekonomi diperkirakan akan berkontraksi sangat tajam dan inflasi akan menjadi lebih tinggi, yang dalam jangka panjang akan lebih konsisten dengan rubel yang lebih lemah," kata Lee Hardman, analis mata uang di MUFG.
Hardman mengatakan situasi untuk lira Turki tidak jauh berbeda.
“Mereka (pemerintah) melakukan intervensi untuk mendukung lira tetapi mereka tidak akan melakukan tindakan kejam seperti kontrol modal yang kita lihat di Rusia.”
Lira, yang melemah 44 persen tahun lalu, diperkirakan akan turun 15 persen lagi menjadi 17,27 per dolar dalam setahun karena bergulat dengan inflasi yang merajalela yang mencapai level tertinggi 20 tahun di 61,14 persen pada Maret.
Yuan China yang dikontrol ketat diperkirakan terdepresiasi 1,4 persen menjadi 6,45 per dolar dalam setahun karena analis memperingatkan bahwa kesenjangan imbal hasil yang menyusut antara obligasi pemerintah 10-tahun China dan AS dapat memicu arus keluar modal.
Di tempat lain di Asia, peso Filipina dan rupee India akan melemah antara 1,0-3,0 persen.
Baca juga: China akan uji coba yuan digital di lebih banyak kota
Baca juga: Rusia dan India akan pakai mata uang non-Barat dalam perdagangan
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2022