Pameran ini diharapkan tidak hanya menggalang kepedulian masyarakat tetapi juga bisa mencari solusi bersama akibat adanya dampak pemanasan global dan perubahan iklim,"

Jakarta (ANTARA News) - Apa jadinya jika pelukis menggambarkan tentang kerusakan lingkungan? Tentu jawabnya kaya dengan khasanah warna.

Para pelukis dari berbagai aliran seni lukis menuangkan semua kegundahan atas kerusakan lingkungan pada sehelai kanvas. Ada yang menggambarkan pemanasan global dan perubahan iklim dalam garis yang menghasilkan ritme dan secara gamblang menvisualkannya. Tapi ada juga pelukis yang menampilkannya hanya dalam simbol-simbol.

Itulah yang terjadi ketika 24 pelukis yang tergabung dalam Himpunan Pelukis Jakarta (HIPTA) menampilkan hasil 48 karyanya dalam pameran yang bertajuk "Shaping a Biosphere" di Taman Ismail Marzuki, 17 hingga 31 Oktober.

Pameran minim publikasi mengkampanyekan ketidakseimbangan lingkungan yang ditimbulkan akibat ulah manusia yang serakah.

Pelukis dengan karyanya mengkritik manusia yang lalai penyelarasan dan kebersamaan hidup dan lingkungan. Pelukis juga menampilkan wajah perempuan dengan semua keindahannya dalam pameran itu.

"Dalam paradigma yang salah maka manusia kerap terjebak dalam egoisme sektoral dan sektoral yang cenderung eksploitatif dan serakah. Sehingga menjadi paradoks bagi kodrat ke-Illahi-an manusia," kata Ketua Umum HIPTA, Imam P Radjasa di Jakarta, Kamis.

Perubahan iklim yang disebabkan rusaknya lingkungan mengakibatkan krisis multidimensi seperti kelangkaan pangan dan energi.Jika sudah demikian, manusia tidak hanya menyiapkan masa depan dengan sebuah bencana tetapi juga merendahkan kodrat manusia itu sendiri.

Pameran ini sendiri, kata Imam, dimaksudkan untuk menggugah kepedulian masyarakat atas krisis yang terjadi. Dimana dalam krisis kelangkaan pangan kaum perempuan kelompok yang paling terkena dampak krisis karena peran dalam keberlangsungan hidup keluarga.

"Salah satu isu yang diangkat dalam kampanye kerusakan lingkungan adalah mengenai krisis pangan dan energi," tambah Imam lagi.

Dalam sambutannya juga, Imam kembali mengingatkan kaum perempuan untuk kembali pada dasarnya, seperti ibu-ibu dan para gadis di desa-desa menumbuk padi di lesung, sebelum tergantikan oleh beras impor.

Menurut dia, irama gerak yang teratur dan dihayati membuat lesung seakan bersenandung. Daripadanya tidak ada yang terbuang, mulai dari sekam untuk membakar batu bata, dedak untuk pakan ternak, hingga bekatul dan beras yang layak untuk dikonsumsi.

"Pameran ini diharapkan tidak hanya menggalang kepedulian masyarakat tetapi juga bisa mencari solusi bersama akibat adanya dampak pemanasan global dan perubahan iklim," harap Imam.

Manusia dan Alam
Pelukis Agoes Jolly dalam pameran ini menggambarkan semakin memudarnya hubungan antara manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesamanya, yang bermuara pada kerusakan lingkungan.

Dalam lukisannya yang berjudul " Kalau Memang KehendakMu", secara abstrak dia menggambarkan 13 batu yang berhamburan di bumi pertiwi, tombak runcing, petir hingga pita yang terkoyak dalam dua kanvas yang dijadikan satu. Sementara di bawah lukisan itu, ia menambahkan lonceng kuning yang terbuat dari besi.

"Lukisan ini merupakan rangkaian terakhir dari lima lukisan yang dipamerkan. Bercerita Bangsa Indonesia yang diberi cobaan oleh Tuhan. Ini semacam peringatan dari Tuhan, agar kita menaruh perhatian terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan, bukan hanya persoalan politik," terang pelukis kelahiran Kediri 17 Agustus 1959 itu.

Di lukisan lainnya "Jakarta Yo Jakarta", dengan abstrak pula dia mengungkapkan kegundahannya tentag ketidakpedulian manusia dengan sesama maupun lingkungan.

Dengan empat kanvas, Agoes memaparkan perjalanan Jakarta dari masa ke masa. Hingga menjadi kota apatis yang penuh dengan janji-janji manis pejabatnya.

"Jakarta masih menampilkan sisi kemanusiannya pada zaman pemerintahan Ali Sadikin, tapi sekarang dari hari ke hari semakin bergeser," kata Agoes.

Lain lagi Ugo Haryono, yang banyak memberi kesan hijau dalam dua lukisannya yakni "Topeng-Topeng Abstrak" dan "Green Geometric". Sesuai dengan kecintaannya akan garis, dalam lukisan ini pun tak luput dari garis-garis yang menjadikannya ruang.

"Bermula dari garis yang ditarik dan ditempatkan dimana saya suka hingga jadilah lukisan ini. Seperti juga musik, garis jika dipadukan dengan baik bisa menjadi ritme," kata pelukis yang juga dosen Institut Kesenian Jakarta ini.

Ugo menyebutkan dalam lukisan yang berjudul "Topeng-Topeng Abstrak", tentang wajah-wajah yang menyulap hutan rimbun menjadi hutan beton. Ugo juga mengkritik krisis multidimensi yang tengah berlangsung di masyarakat.

"Sedangkan penggunaan warna hijau, hanya kebetulan saja. Tidak disesuaikan dengan tema lukisan, karena ini dibuat lebih dulu," terang Ugo yang dulu pernah meraih juara pada Lomba Cipta Lagu Remaja itu.

Menurut dia, lukisan itu layaknya teater dalam bentuk visual. Dalam lukisan itu pula, kata Ugo, bisa bagaimana keresahan jiwa pelukis terhadap kerusakan lingkungan yang tengah berlangsung hingga kini.

Pameran ini juga mengikutsertakan pelukis muda dan berbakat Indonesia,Patrick Cornellis Wowor memberi warna tersendiri dengan bercerita tentang tokoh. Pelukis kelahiran Jakarta 2 Agustus 1983 ini menampilkan lukisan yang berjudul "Merdeka 100%".

Berdasarkan data Kementerian Kehutanan menyebutkan laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,08 juta hektare per tahun. Tingginya kerusakan ini akibat lemahnya pemantapan hutan yang ditandai dengan buruknya pengelolaan sumber daya hutan.

Maka tak heran, Indonesia menempati peringkat ke-2 dari 10 negara dengan laju kerusakan tertinggi di dunia.

Laju kerusakan hutan yang belum sebanding dengan laju pemulihannya mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan seperti banjir dan longsor yang tidak hanya mengakibatkan kerugian ekonomi, namun juga merenggut jiwa manusia.
(SDP-13)

Pewarta: Indriani Eriza
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011