Jakarta (ANTARA) - Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk Muslim, dan makanan halal menjadi kebutuhan mutlak masyarakat.
Oleh karenanya, Indonesia terus memastikan produk pangan yang beredar di tengah masyarakat mempunyai jaminan halal.
Untuk memastikan kehalalan suatu produk pangan, dilakukan deteksi atau pemeriksaan secara akurat. Deteksi halal terhadap bahan mentah relatif lebih mudah diketahui hasilnya, daripada deteksi terhadap bahan olahan yang memerlukan metode yang berbeda dan lebih kompleks karena adanya perubahan struktur bahan.
Pengujian di laboratorium dengan menggunakan metode Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) menjadi metode paling andal yang banyak digunakan saat ini untuk menguji ada tidaknya DNA babi pada produk pangan.
Metode RT-PCR merupakan metode gold standard dalam deteksi babi (porcine) dalam sampel makanan maupun pakan. Metode tersebut memiliki efisiensi dan sensitivitas yang tinggi dalam mendeteksi secara akurat.
Namun, biaya pengujian dengan metode PCR relatif lebih mahal, sehingga diperlukan terobosan dan inovasi untuk menciptakan metode alternatif yang lebih murah, akurat dan cepat dalam mendukung percepatan pengembangan produk halal di Tanah Air.
Berdasarkan informasi dari laman halalmui.org, Manajer Teknis Laboratorium Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Heryani mengatakan penggunaan metode real-time PCR membutuhkan biaya pengujian yang mahal dan keahlian khusus di bidang molekuler dan dilaksanakan di laboratorium yang memenuhi standar pengujian molekuler.
Waktu pengujian bergantung pada kompleksitas sampel dalam melakukan proses ekstraksi. Proses ekstraksi sampel memerlukan waktu 3-4 jam, sedangkan proses PCR sekitar 1-1,5 jam.
Sementara rapid test atau yang disebut dengan pork detection kit membutuhkan waktu pengujian yang cepat, yakni 10-25 menit, namun hanya terbatas pada pengujian bahan yang berbasis daging dan tidak bisa digunakan untuk mendeteksi produk turunannya, seperti gelatin, kolagen, bumbu dan cangkang kapsul.
Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mendorong dan melakukan pengembangan metode deteksi halal yang lebih murah, cepat, akurat dan sederhana menuju ke arah rapid test, dan sekaligus bisa digunakan untuk produk turunan atau pangan olahan.
Langkah BRIN tersebut juga sejalan dengan upaya percepatan untuk mendukung terwujudnya Indonesia sebagai pusat industri halal dunia pada 2024, sebagaimana yang diinginkan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
Mengutip laporan ekonomi "State of Global Islamic" pada 2021, belanja warga Muslim dunia mencapai lebih dari 2 triliun Dolar AS. Belanja masyarakat Muslim tersebut, terdiri dari berbagai sektor, yakni makanan, busana, kosmetik, farmasi hingga sektor rekreasi atau pariwisata.
Sementara itu, ekspor produk halal dari Indonesia mencapai 6 miliar Dolar AS atau setara dengan peringkat ke-21 dunia, sedangkan untuk ekspor busana Muslim diperkirakan sebesar 4,1 miliar Dolar AS atau setara dengan 13 besar di dunia.
Dengan jumlah sekitar 223 juta Muslim di Indonesia berdasarkan data dari Dewan Masjid Indonesia (DMI), maka Indonesia mempunyai potensi besar pasar produk halal di dalam negeri.
Apalagi, jika produk halal Indonesia mampu merambah lebih luas pasar internasional, maka akan mendatangkan pendapatan lebih baik lagi bagi masyarakat, termasuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), dan negara Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia.
BRIN telah menyediakan laboratorium yang dilengkapi dengan instrumen penelitian canggih guna mendukung riset pangan halal di Indonesia, yaitu fasilitas riset di Cibinong, Jawa Barat, Serpong di Banten, dan Gunungkidul di DI Yogyakarta.
Menurut Pelaksana Deputi Bidang Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN Mego Pinandito, banyak industri dari luar negeri yang mengincar pasar Indonesia.
Oleh karenanya, para peneliti di Tanah Air, khususnya BRIN, harus dapat menciptakan metode jaminan halal dan mendorong UMKM bisa mendapatkan sertifikat halal, sehingga produknya dapat menembus pasar domestik dan internasional.
Diharapkan implementasi sertifikasi makanan dan minuman halal di Indonesia minimal sudah dapat dilakukan, utamanya pada 2024.
Riset halal yang dilakukan BRIN melalui Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan (PRTPP) berfokus pada tiga hal penting, yaitu deteksi, substitusi produk dan pengembangan produk berbasis laut. PRTPP menargetkan untuk menghasilkan lebih banyak prototipe produk halal.
Kolaborasi
Untuk meningkatkan riset halal di Tanah Air, tentu kolaborasi dengan berbagai pihak menjadi kunci untuk mendorong terjadinya percepatan pengembangan metode deteksi dan penciptaan produk halal yang lebih canggih.
Saat ini sudah banyak peneliti, termasuk di BRIN, perguruan tinggi dan industri yang mengembangkan metode deteksi halal, sehingga, menurut Pelaksana Tugas Kepala Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan BRIN Satriyo Krido Wahono, hanya perlu dilakukan peningkatan (upgrade) metode agar lebih murah, misalnya membuat produk ekstraksi DNA untuk makanan dan pakan yang cepat dan murah sehingga tidak impor.
Selain itu, BRIN sebagai lembaga riset pemerintah satu-satunya saat ini, berupaya untuk mengintegrasikan seluruh teknologi pendukung halal di Indonesia, sehingga riset halal ke depan akan semakin terarah, efektif, efisien dan menghasilkan produk nyata untuk bangsa.
Untuk pangan olahan, diperlukan pengembangan metode deteksi halal dikarenakan pada pangan olahan semisal es krim (gelato), produk soft capsul ataupun kosmetik yang mengandung porcine gelatin seringkali tidak dapat terdeteksi menggunakan RT-PCR. Oleh karena itu, perlu pengembangan metode deteksi halalnya.
BRIN sudah menyiapkan skema open platform laboratory yakni membuka penggunaan fasilitas riset yang ada di BRIN bagi semua pihak termasuk perguruan tinggi, dosen, mahasiswa, dan industri dalam meningkatkan riset dan pengembangan di berbagai bidang termasuk riset halal.
"Kita dapat berkolaborasi dengan berbagai universitas untuk melakukan kegiatan riset halal ini," ujar Satriyo.
Tidak semua metode deteksi halal harus berlabel murah dan cepat. Akan tetapi yang diutamakan adalah metode pengujian itu harus akurat. Waktu pengujian diharapkan dapat dilakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Namun, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai hasil yang dilakukan dalam waktu yang singkat itu, apakah akurat atau tidak.
Sementara dengan menghasilkan metode yang biaya pengujiannya terjangkau, diharapkan semua pengguna dapat menggunakan metode tersebut dengan mudah dan dengan biaya yang sedikit. Akan tetapi, tetap diperlukan penelitian terkait ketersediaan bahan baku dan proses produksi yang kontinu terhadap suatu metode tersebut.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022