Jakarta (ANTARA News) -
Indonesian Police Watch (IPW) menyesalkan penyiksaan yang dilakukan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-Teror Markas Besar Kepolisian Negara (Mabes Polri) terhadap Joko Wibowo alias Abu Sayyaf, padahal Joko belum terbukti bersalah dirinya terlibat dalam bom Bali II.
"Indonesia adalah salah satu negara penandatangan Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM), karena itu seharusnya aparat keamanan Indonesia juga mengacu ke deklarasi tersebut," kata Ketua Presidium IPW, Neta S. Pane, di Jakarta, Kamis.
Sementara itu, juru bicara Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Fauzan Al Anshori, sempat mendatangi Mabes Polri untuk memprotes penyiksaan terhadap Joko Wibowo yang terluka akibat sulutan rokok, jari tangan dan kaki darahnya hitam membeku, sayatan di badan dan bekas sengatan listrik.
Joko Wibowo alias Abu Sayyaf, anggota Laskar Mujahidin MMI Kota Surakarta, ditangkap kepolisian di Karanganyar, Jawa Tengah, pada 19 Januari 2006 atas sangkaan keterlibatan dalam kasus ledakan bom Bali II, 1 Oktober 2005.
Neta mengingatkan, adanya asas praduga tak bersalah dan bahwa sebelum terbukti bersalah di pengadilan, maka aparat polisi tak berhak melakukan penyiksaan terhadap seorang tersangka.
Misi polisi melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, ujar Neta, jangan sekedar slogan.
Ia menyayangkan fakta di lapangan, pelanggaran terus terjadi, termasuk terhadap kriminalitas kecil bahkan ditambah lagi dengan praktek pungli.
"Meski sudah reformasi, budaya kekerasan pada kinerja kepolisian sulit diubah menjadi lebih profesional," katanya.
Pihaknya juga mengimbau, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) seharusnya peduli untuk meneliti kasus kekerasan di kepolisian dan mulai melakukan pantauan terhadap para pejabat Polri.
"Komnas HAM sepertinya kurang peduli dan tidak pernah mengkritisi maupun memberi masukan kepada Polri untuk meninggalkan budayanya itu," demikian Neta S. Pane. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006