Jakarta (ANTARA News) - Restrukturisasi industri unggas dibutuhkan untuk mengatasi wabah flu burung dan sekaligus memastikan ketahanan pangan karena ayam merupakan sumber protein hewani paling banyak dikonsumsi di Indonesia karena harganya terjangkau.
Dalam "round table discussion" Pentingnya Restrukturisasi Sistem Industri Unggas Menuju Ketahanan Pangan Indonesia" yang digelar Indonesian-Dutch Partnership Program on Highly Pathogenic Avian Influenza Control (IDP-HPAI) di Jakarta, Rabu, telah mendapatkan kesepakatan para ahli.
"Mereka menyepakati pentingnya dilakukan restrukturisasi terhadap praktek industri unggas yang dijalankan di Indonesia selama ini," ujar Project Operation Officer IDP HPAI Ivo Classen di Jakarta, Rabu.
Ia menyatakan ada `bottleneck` serius dalam produksi unggas di Indonesia yaitu bagaimana ayam dikirim dan diperdagangkan di pasar dan yang paling penting adalah mengatasi penularan flu burung, karena dari survei 2007, virus flu burung ditemukan di 80 persen pasar unggas Jakarta.
Saat ini konsumsi ayam di Indonesia masih cukup rendah, hanya mencapai 6 kilogram per kapita per tahun dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 34 kilogram per kapita pertahunnya namun diperkirakan jumlah itu akan meningkat pesat dalam beberapa tahun kedepan sehingga restrukturisasi industri unggas dinilai sudah mendesak untuk memastikan ketersediaan daging ayam di pasar.
"Perlu restrukturisasi agar industri ini menjadi lebih modern untuk memenuhi kebutuhan itu," kata Ivo.
Senada dengan Ivo, Kasubbid Penyakit Zoonose Kemenko Kesra drh. Rama P.S Fauzi mengatakan pentingnya restrukturisasi dilakukan adalah untuk mendorong meningkatnya konsumsi ayam perkapitanya meskipun adanya ancaman wabah flu burung yang masih ditemukan di Indonesia.
"Kenaikan tingkat konsumsi daging ayam ini diharapkan agar dapat membantu mencerdaskan kehidupan bangsa," kata Rama.
Untuk mengatasi penularan virus flu burung dari unggas ke manusia, dua hal yang harus segera dilakukan oleh pemerintah disebut Rama adalah dengan mengatur "zoning" bagi peternakan unggas untuk memudahkan pengawasan dan penanganan jika terjadi wabah dan kedua adalah dengan mengedukasi para peternak.
"Dalam 30 hari, berat ayam naik jadi 1,8 kilogram, pertumbuhan secepat itu rentan terhadap penyakit, butuh penanganan ekstra. Ini butuh penanganan yang tidak lagi tradisional," ujarnya.
Penanganan tradisional saat ini menyebabkan masih adanya kontak tidak aman antara manusia dan unggas sehingga menularkan virus flu burung, seperti yang terjadi di Bali beberapa waktu lalu dan menewaskan dua orang kakak beradik.
Sementara itu, data menunjukkan produksi ayam broiler meningkat hingga dua kali lipat dalam 10 tahun yaitu sebanyak 550 ribu ton pertahun pada tahun 2000 menjadi 1,1 juta ton pertahun pada 2009 dan diperkirakan menjadi 2 juta ton pada tahun 2020 mendatang.
"Bisa jadi kebutuhannya lebih besar lagi jika pertumbuhan penduduk lebih besar dari sekarang atau kesejahteraan penduduk meningkat," kata Rama.
Stake holder industri unggas yang lain, Senior Manager of QA/QC/R&D PT Sierad Produce, Tbk Elisina D. Norimarna juga mengusulkan restrukturisasi dilakukan di bidang pemasaran unggas, yaitu dengan tidak lagi mengirim ayam hidup ke rumah potong yang saat ini berada dekat tempat penduduk, namun dengan menerapkan "cold chain supply".
Dengan sistem itu, sejak dari rumah pemotongan ayam (RPA) yang bisa diletakkan jauh dari pemukiman, pengiriman hingga tempat pemasaran, daging ayam berada dalam lemari pendingin dengen suhu enam derajat Celcius untuk menjaga kualitas dan tidak terkontaminasi bakteri. (A043/M027)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011