Jakarta (ANTARA News) - Program Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang telah digulirkan pemerintah sejak 2011 dinilai sangat membutuhkan faktor kunci stabilitas dan sumber dana investasi yang memadai.
"Stabilitas baik politik maupun ekonomi adalah kunci bagi KP3EI (Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dalam melaksanakan MP3EI," kata anggota Komisi Ekonomi Nasional atau KEN Nina Sapti Triawati dalam diskusi "MP3EI dan Antisipasi Penyerapan APBN terhadap Krisis Global".
Stabilitas, menurut Nina, juga harus dijaga antara lain dengan kekompakan kepemimpinan pusat dan daerah sehingga tidak terjadi perbedaan persepsi yang bisa berdampak kepada stabilitas tersebut.
KEN dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2010. Presiden menugaskan kepada KEN untuk menelaah dan memberikan rekomendasi terhadap delapan hal.
Delapan hal tersebut antara lain mengenai postur dan skema APBN, konektivitas ekonomi, pencapaian pertumbuhan yang stabil dan berkelanjutan.
Selain itu, hal lainnya adalah pengurangan kemiskinan, pengurangan pengangguran dan lapangan kerja, ketahanan pangan dan air, ketahanan energi, serta pengembangan kebijakan sumber pembiayaan dalam negeri agar dapat semakin besar dan kuat seraya mengurangi beban utang luar negeri.
KEN yang diketuai oleh pengusaha Chaerul Tanjung dengan wakil ketua akademisi Chatib Basri akan bertugas hingga akhir masa tugas Kabinet Indonesia Bersatu II, yaitu hingga Oktober 2014.
Selain terkait dengan stabilitas, Nina juga mengemukakan bahwa penerapan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sangat tanah air.
"Yang penting adalah peta investasi masing-masing daerah dan cara mengejar investasi itu," katanya.
Ia memaparkan, MP3EI telah menetapkan enam kelompok daerah atau koridor ekonomi yang meliputi Koridor Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Koridor Papua dan Kepulauan Maluku.
Percepatan dan perluasan pembangunan di enam koridor tersebut dilakukan untuk memperkuat konektivitas nasional, yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global.
Selain memperhatikan aspek konektivitas, pendekatan umum lainnya yang diperhatikan adalah terkait dengan perbaikan regulasi yang lebih ramah terhadap investasi serta perbaikan terhadap aspek sumber daya manusia.
"Pertumbuhan di daerah harus dikejar sehingga dibutuhkan SDM yang menopang masing-masing wilayah," katanya.
Menurut dia, pemerintah juga akan melakukan pengawasan secara berkala yang dimulai dari tahap perencanaan sehingga dapat diketahui target-target tertentu apa yang telah dicapai misalnya pada akhir 2011.
Kestabilan Indonesia
Sementara itu, Direktur Financial Reform Institute, Muhammad Husni Thamrin mengatakan, Indonesia sebenarnya dipandang oleh banyak pihak sebagai negara yang memiliki kestabilan politik yang baik.
"Banyak negara melihat Indonesia sebagai negara ideal serta memiliki stabilitas politik yang cukup baik bila dibandingkan misalnya dengan Thailand dan Malaysia," kata Husni Thamrin.
Menurut dia, kendala terbesar yang dihadapi Indonesia adalah kondisi infrastruktur yang dinilai masih belum berada dalam kondisi yang diinginkan oleh para pengusaha.
Selain itu, lanjutnya, persoalan lainnya yang kerap menghambat investor adalah kepastian kebijakan untuk berinvestasi di Indonesia, dan masih lambatnya birokrasi.
"Kita rata-rata masih membutuhkan waktu di atas 100 hari dalam melewati proses perizinan untuk membuat suatu usaha," katanya.
Ia juga menegaskan bahwa MP3EI perlu mendapatkan dukungan baik dari birokrasi maupun swasta agar dapat mengoptimalkan sisa waktu pemerintahan Presiden usilo Bambang Yudhoyono- Wakil Presiden Boediono dan juga menjadi upaya dalam membangun kerangka perekonomian Indonesia.
MP3EI dinilai juga memiliki tujuan yang baik antara lain untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan termasuk 10 negara besar di dunia pada tahun 2025, dan enam negara besar dunia pada tahun 2050.
Namun, lanjutnya, untuk mencapai tujuan tersebut, MP3EI juga membutuhkan dukungan untuk segera disahkannya sejumlah UU yang terkait dengan MP3EI seperti RUU Pengadaan Tanah.
Karena itu, menurut dia, hal yang menjadi persoalan dalam pelaksanaan MP3EI sebenarnya bukan hanya dari masalah pendanaan, tetapi karena tidak siapnya perangkat UU yang ada.
"Keraguan dalam pelaksanaan MP3EI bukan dari sisi biaya atau apakah APBN bisa mencukupi, tetapi karena UU tidak siap dan tidak adanya komitmen yang cukup," katanya.
Di tempat terpisah, Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah harus dapat merealisasikan MP3EI sesuai jadwal yang telah ditetapkan mengingat tujuannya untuk menyeragamkan pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah, serta meningkatkan produktivitas.
Airlangga mencontohkan teknologi IT yang dapat menghubungkan masyarakat Indonesia yang tinggal di negara kepulauan pada akhirnya meningkatkan produktivitas.
Ia juga melihat bahwa pembangunan infrastruktur dalam koridor MP3EI masih membutuhkan dukungan dari sektor lain diantaranya dalam hal penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, kebijakan Hak Guna Usaha, serta pengusahaan lahan.
Jangan hanya BUMN
Airlangga juga mengutarakan harapannya agar pengembangan MP3EI jangan hanya mengandalkan dari BUMN dan swasta tetapi pemerintah juga harus ikut berperan.
"Bahkan untuk koridor-koridor yang dapat memberikan benefit (keuntungan) ekonomi dibutuhkan keberpihakan pemerintah di dalamnya," katanya dalam satu diskusi di Jakarta.
Menurut dia, MP3EI dibuat untuk pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang dalam pengembangannya melibatkan pemerintah dan sektor usaha (BUMN dan swasta).
Ia mengingatkan, dalam menyusun MP3EI bukan semata-mata daftar proyek, melainkan di dalamnya juga terdapat pembuatan klaster yang membutuhkan industri pendukung.
"Seperti untuk klaster industri kelapa sawit tak hanya membutuhkan areal perkebunan, tetapi juga tempat pendidikan dan pelatihan (diklat), laboratorium, serta akses pelabuhan sendiri," katanya.
Sementara itu, Kementerian BUMN juga mengharapkan agar terdapat adanya sinkronisasi antarkementerian terkait guna merealisasikan proyek infrastruktur menyusul program MP3EI.
"Selama ini, kita selalu tersendat dengan kementerian terkait sehingga terkesan proyek BUMN tidak berjalan," ujar Deputi Menteri BUMN Bidang Infrastruktur dan Logistik Sumaryanto Widayatin dalam diskusi bertajuk "Dampak Krisis Ekonomi Eropa dan Pengaruhnya terhadap kinerja BUMN".
Sumaryanto Widayatin menambahkan proyek BUMN seringkali terjebak oleh undang-undang di kementerian lain yang notabene dapat ditransformasikan secara ringkas oleh perusahaan pelat merah.
Ia mencontohkan proyek Kalibaru dan Tanjung Benoa, yang selama ini belum dapat direalisasikan pekerjaannya secara maksimal sebab terbentur permasalahan UU mengenai pembebasan lahan.
Selain itu, pihaknya pun mengakui harus berhati-hati untuk menjalankan proyek infrastruktur pemerintah menyusul banyaknya tuduhan monopoli oleh perusahaan-perusahaan swasta.
Sedangkan pengamat ekonomi Danareksa Sekuritas Purbaya Yudi Sawewa mengatakan, terdapat beberapa hal yang harus diperbaiki untuk mendorong investasi dalam MP3EI, antara lain mempercepat penyelesaian peraturan perundang-undangan, menghilangkan tumpang tindih antar peraturan yang sudah ada.
Selain itu, lanjutnya, adalah merevisi atau menerbitkan peraturan yang mendukung MP3EI, memberikan insentif kepada kegiatan-kegiatan ekonomi yang sesuai dengan strategi MP3EI, serta mempercepat dan menyederhanakan proses serta memberikan kepastian dalam perizinan.
"Dukungan pemerintah baik berupa pendanaan maupun nonpendanaan harus terlihat jelas bukannya malahan menghambat," katanya.
Purbaya memaparkan, dukungan non pendanaan dapat berupa penyediaan lahan yang dimiliki pemerintah, penyertaan modal sampai level tertentu melalui BUMN, serta insentifikasi lainnya yang sedang diajukan oleh Unit Manajemen Risiko Departemen Keuangan.
Dalam kerangka MP3EI pemerintah mencanangkan investasi hingga tahun 2014 sebesar Rp836 triliun yang akan tersebar di enam koridor ekonomi nasional.
Dari jumlah tersebut sampai dengan akhir 2011 diperkirakan total investasi terserap mencapai sekitar Rp170 triliun, 2 miliar yen, dan 35 miliar yen.
(T.M040/A011)
Oleh Muhammad Razi Rahman
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011