Jakarta (ANTARA) – Pasar asuransi dan reasuransi di Tanah Air dinilai masih dapat dikembangkan sejalan dengan penguatan pengelolaan risiko oleh pelaku usaha dan edukasi jasa keuangan kepada masyarakat.


Direktur Teknik Operasi PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) Delil Khairat mengatakan secara makro, Indonesia masih jauh tertinggal dari negara lain, termasuk negara tetangga. Penetrasi atau rasio total premi dan produk domestik bruto (PDB) nasional hanya sekitar 1,9 persen, sedangkan densitasnya (premi per kapita) sebesar US$75 per tahun.


“Untuk penetrasi asuransi, kalau tidak salah Indonesia peringkat 65 dunia, sedangkan insurance density peringkat 75. Kita berada di bawah tetangga kita, jangankan Singapura, kita berada di bawah Malaysia, Thailand dan Vietnam,” ungkapnya, Jumat (1/4/2022).


Padahal, kata Delil, Indonesia digadang-gadang sebagai calon kekuatan ekonomi baru dalam 10-20 tahun ke depan. Pasalnya, Indonesia didukung oleh kekayaan alam dan juga saat ini memiliki keuntungan secara demografis yang akan memberikan keuntungan dalam persaingan global beberapa puluh tahun ke depan.


Dengan penetrasi dan densitas asuransi yang rendah, Delil meyakini bahwa industri asuransi Indonesia masih memiliki ruang pertumbuhan yang signifikan. Pemanfaatan potensi itu, jelas dia, akan bergantung pada kemampuan pelaku industri dan juga pemerintah dalam meningkatkan tata kelola risiko dan juga edukasi layanan jasa keuangan kepada masyarakat.


“Sebenarnya di semua lini kita punya ruang pertumbuhan yang besar, lebar,” tegasnya.


Menurutnya, pelaku industri asuransi dan reasuransi seringkali terlalu fokus untuk berebut pasar yang sudah ada. Upaya memperebutkan porsi bisnis yang tidak bertumbuh signifikan itu, jelas dia, seringkali berujung pada adu harga premi.


Delil menilai pelaku industri asuransi sebenarnya bisa bersama-sama berfokus pada pengembangan pasar, ketimbang berebut porsi bisnis yang sudah ada. Dengan upaya itu, niscaya semua pelaku usaha di bidang asuransi dan reasuransi akan berkembang.


“Ini yang suka dilupakan karena fokus pada persaingan untuk berebut ‘kue’ yang sama, fokus untuk menjadi paling murah, dan sebagainya. Kenapa kita tidak fokus pada melebarkan membesarkan ‘kue’ itu ?”


Upaya pengembangan pasar itu, sambung Delil, menjadi pekerjaan rumah yang perlu dipikirkan oleh industri asuransi nasional secara bersama-sama.


Pada saat yang sama, Delil menilai pemerintah bisa memberikan dukungan bagi pelaku industri untuk menggarap pasar potensial khususnya terkait asuransi kebencanaan dan juga transportasi.


Sebagai negara yang rawan bencana, jelas dia, Indonesia bisa menyiapkan skema proteksi atau asuransi bencana alam berskala nasional. Tanpa skema ini, pemerintah setiap tahun harus mengalokasikan anggaran penanggulangan risiko atau kerugian akibat bencana yang jumlahnya signifikan.


“Sayang sebenarnya, karena APBN yang seharusnya bisa disalurkan ke aktivitas pembangunan yang lebih produktif, tapi dipakai untuk penanggulangan bencana. Kita bisa belajar dari Jepang, misalnya,” ujar dia.


Di samping itu, Delil mendorong pewajiban asuransi kendaraan dengan cakupan perlindungan untuk pihak ketiga atau third party liability. Dengan skema asuransi ini, kerugian yang timbul akibat kecelakaan dalam berkendara, termasuk cacat fisik bagi korban tabrakan, bisa diproteksi oleh asuransi.


“Di negara lain diwajibkan, sehingga terpaksa membeli asuransi kendaraan bermotor untuk melindungi para pejalan kaki atau pengguna jalan yang lain. Tidak ada lagi bersitegang karena tabrakan, semuanya beres dengan asuransi,” jelas dia.


Pentingnya Perusahaan Reasuransi Nasional


Untuk menopang pengembangan pasar asuransi dan reasuransi nasional, kata Delil, keberadaan Indonesia Re sebagai Perusahaan Reasuransi Nasional (PRN) menjadi vital. Menurutnya, setiap negara memerlukan flag reinsurer yang akan menjadi mitra pemerintah dalam berinovasi dan berinisiatif dalam pengelolaan risiko.


Di samping itu, PRN akan mewakili Indonesia di pasar global atau setidaknya di pasar Asia Tenggara. “Dan ini adalah pendekatan yang diambil semua negara. Tetangga kita juga punya, ada Malaysian Re, Singapore Re, Thailand Re, Vina Re, ada Cambodia Re dan sebagainya,” ungkap Delil.


Delil mengakui bahwa Indonesia Re masih membutuhkan langkah signifikan untuk menjadi PRN yang menopang industri nasional. Selain kebutuhan modal, Indonesia Re dinilai memerlukan peningkatan kapabilitas, keahlian dan kemampuan berinovasi berbasis sains yang mengikuti perkembangan global.


Oleh karena itu, Delil mengatakan Indonesia Re akan melakukan perubahan signifikan.


Delil optimistis Indonesia Re bisa berkembang signifikan untuk mendukung pasar dalam negeri dan menjadi pelaku pasar asuransi internasional, setidaknya di pasar Asia Tenggara. Keyakinan itu, jelas dia, semakin besar setelah bertemu dan mendengarkan visi jajaran Komisaris, Direksi dan pemerintah.


Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2022