Jakarta (ANTARA) - Tangan Evita (36) terlihat cekatan mengaduk adonan yang ada di baskom warna hijau. Di dalamnya telah tercampur tepung terigu, kol dan wortel yang diiris tipis beserta bumbu lainnya.

“Mau buat bala-bala (bakwan) aja untuk buka puasa nanti,” kata Evita singkat sembari tangannya memasukkan adonan ke dalam minyak panas.

Tak seperti puasa sebelumnya, bulan Ramadhan tahun ini dilewati dengan kesederhanaan. Tak banyak makanan yang tersedia di meja makan untuk disantap bersama pada saat berbuka puasa. Makan yang tersedia pun ala kadarnya asalkan memenuhi kebutuhan keluarganya.

Kenaikan harga pangan dalam beberapa waktu terakhir, membuatnya harus memutar otak agar uang belanja bulanannya mencukupi. Sejumlah harga kebutuhan pokok naik dalam beberapa waktu terakhir.

Harga minyak goreng kemasan satu liter saat ini di pasaran mencapai Rp25.000/kg. Menjelang puasa, harga ayam pun yang per ekor biasanya Rp40.000 naik menjadi Rp50.000. Belum lagi harga sayur mayur yang turut naik.

“Cabai merah sekarang harganya Rp55.000 per kilogram, belum lagi harga gas tiga kilogram juga turut naik menjadi Rp25.000,” ujar Evi, panggilan akrabnya.

Evi yang berprofesi sebagai guru honorer tersebut harus mencari akal agar pendapatannya bersama suaminya, mampu menghidupi mereka dan tiga anaknya. Sementara suaminya hanya bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik di Kabupaten Tangerang.

Upah minimum kabupaten di daerah tersebut tidak mengalami kenaikan pada tahun ini. Nilainya sama dengan tahun sebelumnya.

“Gaji tetap segitu aja, tapi apa-apa naik. Beda dengan puasa lalu, kenaikan harga barang tidak banyak. Kalau tahun ini naiknya serentak,” kata dia mengeluh.

Tak hanya harga kebutuhan pokok yang naik, harga kebutuhan rumah tangga seperti detergen, sabun hingga odol pun turut melonjak, Ia pun mulai beralih ke merk lain yang harganya lebih murah. Selain itu, ia juga harus melupakan rutinitas setiap puasa yakni belanja takjil menjelang waktu berbuka puasa.

“Sekarang aja harga gorengan itu udah naik Rp1.500 per bijinya, biasanya hanya Rp1.000. Belum lagi harga takjil juga naik yang biasanya Rp5.000 per bungkus menjadi Rp6.000 per bungkus. Dari pada beli jatuhnya boros, mending bikin sendiri,” ucap dia.

Selain menghadapi beratnya puasa kali ini, Evi juga harus bersiap karena mendapatkan kabar tunjangan hari raya (THR) suaminya terancam tidak dibayarkan oleh pihak perusahaan dengan alasan pandemi COVID-19. Evi meminta agar pemerintah turun tangan mengatasi permasalahan.

“Dibandingkan dapat bantuan langsung tunai, lebih baik harga kebutuhan pokok stabil,” ujar dia.

Baca juga: CIPS: kenaikan BBM dan tol berdampak pada harga pangan

Baca juga: Pemerintah tambah bantuan sosial akibat kenaikan harga pangan-energi

Adu strategi

Naiknya harga kebutuhan pokok tak hanya dikeluhkan para ibu rumah tangga. Para pedagang makanan pun mengeluhkan kenaikan harga kebutuhan pokok yang berdampak pada penjualan mereka.

Seorang pedagang makanan di Cikupa, Kabupaten Tangerang, Wita (37), mengatakan ia harus memikirkan strategi agar harga makanan yang dijualnya tidak mengalami kenaikan.

“Untuk minyak goreng, kalau dulu beli minyak kemasan sekarang ke curah yang harganya Rp14.000. Harga gorengan memang di tempat lain sudah naik menjadi Rp1.500, tapi kami masih menjual Rp1.000 per biji, tapi ukurannya yang lebih kecil,” ucap Wita.

Untuk penggunaan cabai merah, Wita memilih harga cabai yang lebih murah. Misalnya jika harga cabai merah melambung tinggi, maka dia memilih cabai hijau yang harganya lebih murah untuk membuat sambal.

“Harus pintar-pintar menyiasatinya. Kalau cabai merah naik, pakai cabai hijau dan lebih banyak dikasih tomat. Biasanya kalau cabai merah naik, harga tomat murah,” ujar ibu tiga anak itu.

Wita berupaya semaksimal mungkin agar harga makanan yang dijualnya tidak mengalami kenaikan harga. Hal itu dikarenakan pendapatan atau upah minimum buruh juga tidak mengalami kenaikan.

“Kasihan kalau dinaikkan harga makanannya, karena UMR tidak naik,” kata Wita.

Penghasilan di warung yang berdekatan dengan pabrik onderdil kendaraan tersebut jauh berkurang dibandingkan tahun lalu. Menurut dia, para buruh pabrik lebih banyak membawa bekal dibandingkan makan di luar.

“Sekarang dalam sehari habis 50 hingga 60 porsi atau sekitar Rp1.000.000 hingga Rp1.200.000 per hari. Kalau tahun lalu lebih baik bisa mencapai 80 porsi.”

Seorang pedagang gorengan, Rusmiyati (40), mengatakan dirinya harus memiliki strategi agar harga gorengannya tidak membebani konsumen. Harga gorengan memang mengalami kenaikan dibandingkan sebelumnya.

“Kalau dulu Rp5.000 dapat lima gorengan, sekarang Rp5.000 dapat empat gorengan. Itu juga bisa dicampur dengan lontong,” kata Rusmiyati.

Minyak goreng yang digunakannya pun minyak curah yang harganya lebih murah. Meskipun, ia pun meragukan kehigienisan minyak curah. Sebelum harga minyak goreng melambung, Rusmiyati menggunakan minyak kemasan dua liter.

“Harganya tidak beda jauh dan juga lebih bersih. Minyak kemasan pun lebih baik karena tidak cepat panas seperti minyak curah, jadi warna gorengan pun lebih bagus dibandingkan dengan menggunakan minyak curah,” ucap dia.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan terjadi inflasi sebesar 0,66 persen secara bulanan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 108,95.

Penyumbang inflasi terbesar diantaranya minyak goreng, cabai merah, dan telur ayam ras. Inflasi tertinggi terjadi di Merauke dengan persentase 1,86 persen dan IHK sebesar 109,13.

Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo mengumumkan akan memberikan bantuan langsung tunai minyak goreng untuk meringankan beban masyarakat. Bantuan akan diberikan pada 20,5 juta keluarga penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan 2,5 juta pedagang kaki lima.

Bantuan sebesar Rp100.000 tersebut diberikan selama tiga bulan dan dibayarkan sekaligus pada April 2022.*

Baca juga: Pemerintah batasi pupuk subsidi imbas kenaikan harga akibat perang

Baca juga: Sektor parekraf perlu perkuat rantai pasok seiring kenaikan harga

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022