Balikpapan (ANTARA News) - Pengamat yang juga anggota Dewan Nasional Perubahan Iklim, Dr Doddy S Sukadri, mengungkapkan perlunya perubahan definisi hutan mengingat adanya ancaman perubahan iklim yang terus-menerus.
"Dalam konteks perubahan iklim, hutan itu bisa disebut sebagai area di mana di atasnya tumbuh pohon dan bukan pohon," kata Doddy di sela acara Workshop Perubahan Iklim dan Pasar Karbon di Indonesia di Balikpapan, Senin (17/10).
Definisi itu, papar Doddy, membawa dampak pada dua hal yakni forest cover (tanah yang tertutup hutan alam), dan vegetation cover (tanah yang tertutup tumbuhan namun bukan hutan).
"Bisa termasuk vegetation cover ini perkebunan. Apakah kebun sawit atau kebun karet, atau lain-lain perkebunan," kata Ketua Kelompok Kerja Alih Guna Lahan dan Kehutanan itu.
Lebih lanjut ia mengatakan, perubahan definisi ini membuat cakupan penyerapan dan penyimpanan karbon Indonesia semakin luas. Dengan definisi baru ini, perkebunan yang selama ini tidak dihitung sebagai kawasan penyerap dan penyimpan emisi karbon, juga bisa direken.
Definisi baru ini juga memungkinkan Hutan Tanaman Industri atau HTI, yang selama ini diperdebatkan sebagai "bukan hutan" oleh sebagian aktivis lingkungan, masuk sebagai kawasan penyerap dan penyimpan emisi karbon.
"Tentu saja selama hutannya dipelihara," kata Doddy yang jadi pembicara kunci dalam workshop yang digelar Kementerian Kehutanan tersebut.
Ia juga menegaskan definisi baru ini bukan berarti semena-mena mengalihfungsikan hutan alam menjadi perkebunan.
"Redefinisi ini buat lahan gundul dan lahan kritis," tegasnya.
Di sisi lain, cakupan penyerapan yang semakin luas berarti memungkinkan Indonesia mendapatkan kompensasi yang lebih besar dari program REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) dari negara-negara maju.
Dalam program REDD+ ini, misalnya, Indonesia telah mendapat komitmen dari Kerajaan Norwegia, dimana Norwegia mengucurkan dana sebesar 1 miliar dolar AS atau setara Rp8,5 triliun agar Indonesia memelihara hutan-hutan hujan tropis yang tersisa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Negara pemberi kompensasi umumnya adalah negara-negara maju seperti negara-negara Eropa, Amerika Utara, dan Jepang. Alasannya antara lain karena negara-negara maju adalah penghasil polusi (di antara pelepas emisi karbon) paling banyak ke alam.
Di Kaltim, baru Kabupaten Berau dan Malinau yang sudah menjalankan program REDD+. Program itu dijalankan pemerintah setempat dengan menerbitkan Peraturan Daerah.
Dalam sebuah kesempatan di Balikpapan, Kepala Bidang Konservasi Dinas Kehutanan Kabupaten Malinau Ihin Surang menyebutkan, Malinau sudah mencanangkan diri sebagai kabupaten konservasi sejak tahun 2004, bahkan sebelum isu REDD dan kemudian REDD+ muncul. Malinau masuk ke skema REDD+ dengan membentuk Pokja REDD+ Malinau Tahun 2009.
Kabupaten Malinau berada jauh di utara Kalimantan Timur, berbatasan langsung dengan negara bagian Sabah, Malaysia Timur. Luas kabupaten ini 4,2 juta hektar, dan menurut Ihin, 90 persen adalah hutan.
Hutan-hutan Malinau, antara lain karena letaknya yang terpencil dan tidak tersedianya sarana transportasi yang murah, menjadi relatif terlindungi dan dengan sendirinya menjadi yang paling lestari. (ANT-188*A041)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011