Jakarta (ANTARA News) - "Awas jangan makan telur nanti bisulan". "Awas nanti kolesterol kalau sering menyantap kuning telur atau daging ayam".

Kalimat-kalimat peringatan tersebut sering kali terdengar terutama untuk mengingatkan mereka yang gemar mengonsumsi daging ayam ataupun telur.

Ya, mengonsumsi daging ayam maupun telur selalu dihubungkan dengan kolesterol tinggi, bisulan ataupun gangguan kesehatan lainnya sehingga akhirnya membuat masyarakat menjauhi kedua komoditas pangan itu.

Anggapan negatif masyarakat terhadap terhadap daging ayam dan telur tersebut, ditengarai Ketua Asosiasi Obat Hewan Indonesia (Asohi), Rachmad Nuryanto, menjadi salah satu penyebab rendahnya konsumsi daging ayam dan telur per kapita di Indonesia.

"Alasannya takut terkena kolesterol atau takut alergi jika mengonsumsi telur berlebihan," katanya.

Dibanding negara tetangga Malaysia, konsumsi ayam dan telur masyarakat Indonesia tergolong masih sangat rendah. Jika konsumsi ayam dan telur masyarakat Malaysia rata-rata 36 kg/kapita/tahun dan telur ayam 311 butir/kapita/tahun di Indonesia hanya 87 butir terlur per tahun dan ayam 7 kg/tahun.

Sementara itu konsumsi telur di Thailand mencapai 93 butir per kapita per tahun dan daging ayamnya sudah sebesar 16 kg per kapita per tahun, sedangkan China mencapai 304 butir/kapita/tahun.

Informasi yang masyarakat terima masih kurang, tambahnya, akibatnya, masyarakat tak mengetahui benar manfaat ayam dan telur sehingga banyak yang kurang yakin akan kandungan gizi kedua bahan pangan itu.

Kampanye negatif yang disuarakan beberapa kelompok masyarakat, seperti pemberian hormon pada ayam, juga membuat masyarakat ragu mengonsumsi ayam.

"Masyarakat juga ditakutkan jika mengonsumsi telur dan daging ayam akan rentan terkena kolestrol, penyakit flu burung. Padahal, bila diteliti secara empiris isu tersebut tidak benar," kata Rachmat.

Menteri Pertanian Suswono mengakui, konsumsi pangan bergizi rata-rata masyarakat Indonesia masih rendah, padahal ini sangat penting untuk meningkatkan kecerdasan bangsa.

Konsumsi protein hewani masyarakat saat ini baru mencapai 5,72 gram/kapita/tahun, yang berarti masih di bawah standar konsumsi gizi nasional yang 6,5 gram/kapita/tahun.

"Rendahnya pola konsumsi pangan bergizi ini akibat kurangnya pengetahuan, kebiasaan, serta rendahnya daya beli masyarakat," kata Mentan di sela-sela pencanangan Hari Ayam dan Telur Nasional 2011 di Parkir Timur Senayan, Sabtu (15/10).

Suswono menyebutkan bahwa daging merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi dan perlu dikonsumsi oleh anak-anak dan orang dewasa. Karena asam amino yang terkandung dalam daging dapat berfungsi untuk memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak. Demikian juga telor, mempunyai kandungan nutrisi yang lengkap.

Terkait rendahnya daya beli masyarakat, sebenarnya telur atau daging ayam masih banyak yang bisa menjangkaunya.

Jika dibandingkan dengan sumber protein yang lainnya, telur relatif lebih murah dan lebih tinggi kandungan proteinnya.

Menurut data Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI) telur seharga Rp13.500 per kg memiliki kandungan protein 12,5 persen. Daging ayam harganya Rp25.000 per kg mengandung protein 18,5 persen.

Kemudian tahu harganya Rp9.000 dengan protein 7,5 persen, ikan air tawar seharga Rp 22.500 dengan protein 15 persen. Bahkan, daging sapi harganya Rp65.000 dengan kandungan proteinnya 20 persen.

Terkait dengan upaya meningkatkan konsumsi ayam dan telur di kalangan masyarakat, maka sejumlah pemangku kepentingan perunggasan di tanah air menggelar kegiatan Festival Ayam dan Telur 2011, yang salah satunya berupa pencanangan Hari Ayam dan Telur oleh Menteri Pertanian Suswono.

Ketua Panitia Festival Ayam dan Telur, Rahmat Nuriyanto menyatakan, kegiatan yang baru pertama kali digelar itu dimaksudkan sebagai kampanye dalam meningkatkan konsumsi daging ayam dan telur di masyarakat.

"Saat ini kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mengonsumsi daging ayam dan telur bagi kesehatan,pertumbuhan serta kecerdasan anak-anak dan keluarga masih sangat rendah," katanya.

Besarnya kandungan nutrisi pada ayam dan telur tersebut tentunya berpengaruh kualitas gizi yang diperoleh masyarakat terutama bila dikonsumsi sejak anak anak.


Swasembada telur dan ayam

Industri ayam dan telur nasional saat ini sebenarnya mampu menyediakan protein hewani nasional. Bahkan, ketika pemerintah Australia menutup keran impor sapi sebanyak 500.000 ton, industri peternakan ayam dan petelur siap mengisi pangsa pasarnya.

"Industri peternakan ayam dan petelur nasional sudah swasembada dan mampu memenuhi kebutuhan protein hewan masyarakat," ujar Ketua Umum FMPI Don P Utoyo.

Dia mengungkapkan, produksi telur tahun ini ditaksir mencapai 1,4 milar kilogram (kg) atau 1,4 juta ton. Sementara produksi daging ayam mencapai 1,6 juta ton ekor. Apabila dikonversi menjadi ayam hidup menjadi 2,4 miliar.

Jumlah itu jika dikonversikan daging dan tulang (carcass) sebesar 1,7 miliar kg dan kalau dihitung bobot daging sebesar 900 juta kg.

Indonesia sebetulnya sudah berswasembada ayam dan telur, lanjutnya, karena dari segi produksi jauh lebih banyak ketimbang angka konsumsi yang rendah.

Produksi ayam Indonesia mencapai 1,6 juta ekor atau setaraf dengan 2,4 miliar kg daging ayam. Sementara untuk telur, produksi Indonesia mencapai 1,4 juta ton telur. "Sedangkan kebutuhan masih rendah sehingga minat masyarakat untuk beternak sedikit karena tidak laku," katanya.

Namun demikian seiring membaiknya makro perekonomian serta meningkatnya daya beli masyarakat diprediksikan pertumbuhan produksi telur dan ayam tahun depan akan meningkat tujuh persen.

Menurut proyeksi FMPI tahun depan konsumsi ayam dan telur bisa naik sekitar 5-10 persen dengan asumsi perekonomian Indonesia yang semakin baik.
(S025/Z002)

Oleh RZ. Subagyo
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2011