Balikpapan (ANTARA News) - Pengamat masalah migas, Kurtubi, mengatakan, penetapan jatah daerah penghasil sebesar 15,5 persen untuk minyak dan 30,5 persen untuk gas tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

Kepada ANTARA di Balikpapan, Senin, Kurtubi mengatakan, oleh karena itu pasal 14 huruf e dan huruf f Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus dikoreksi.

"Dikoreksi atau dicabut, karena tidak mencerminkan azas keadilan dan kepatutan, terutama bagi daerah penghasil migas seperti Kalimantan Timur," tegasnya.

Kurtubi berada di Balikpapan, Kalimantan Timur, dalam rangka menghadiri pertemuan koordinasi Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB).

Angka bagi hasil bagi daerah penghasil sebesar 15,5 persen untuk minyak dan 30,5 persen untuk gas tersebut tercantum dalam Pasal 14 UU tersebut.

Pasal itulah yang diminta ditinjau kembali oleh rakyat Kalimantan Timur dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi pada Rabu (19/10).

Menurut doktor lulusan Colorado School of Mine, Amerika Serikat tersebut, penetapan angka 15,5 persen untuk minyak itu layaknya mengganggap daerah penghasil sama dengan kontraktor, perusahaan yang menjalankan usaha mengeluarkan minyak dan gas tersebut dari "perut" bumi.

Padahal, sambung Kurtubi, kontraktor migas juga menerima "cost recovery" atau pergantian biaya dari aktivitas eksplorasi dan eksploitasi atau pengangkatan minyak dan gas yang dilakukannya di luar jatah 15 persen yang jadi haknya.

"Sementara daerah yang menerima resiko dari pertambangan migas tersebut ya harus puas dengan jatah 15,5 persen untuk minyak dan 30,5 persen untuk gas itu. Angka yang terlalu kecil dan tidak adil," ujar Kurtubi, yang juga dosen Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tersebut.

Ia juga mengingatkan, jatah 15,5 persen daerah berbeda dengan 15 persen jatah kontraktor. Jatah 15 persen milik kontraktor adalah bagian langsung dari hasil migas, dan yang 85 persen lainnya untuk pemerintah. Jatah 15 persen milik daerah berasal dari pembagian 85 persen bagian pemerintah.

Di daerah, alanjutnya, angka 15,5 persen untuk minyak dan 30,5 persen untuk gas itu masih harus dibagi-bagi. Angka 0,5 persen dijatah untuk anggaran pendidikan dasar, lalu 3 persen untuk provinsi, 6 persen untuk kabupaten/kota penghasil, dan 6 persen lainnya untuk kabupaten/kota lain di provinsi tersebut.

Jatah yang 0,5 persen itu pun masih ada rinciannya, yaitu 0,1 persen untuk provinsi, dan 0,2 persen untuk kabupaten/kota penghasil, dan 0,2 persen lagi untuk kabupaten/kota lain di provinsi penghasil tersebut.

Karena ini pula Dr Kurtubi bersedia menjadi saksi ahli untuk judicial review atau peninjauan kembali UU No 33/2004 tersebut.

"Daerah seperti Kaltim bisa menuntut hingga 50:50," ujarnya.

Dengan bagian sampai 50 persen itu, katanya, dari Produk Domestik Bruto Kaltim dari migas yang mencapai Rp320 triliun sekarang yang 85 persennya disetor ke pusat, maka Rp160 triliun bisa masuk dalam APBD Kaltim.

"Itu memberi harapan akan pembangunan yang lebih maju dan kesejahteraan yang lebih merata," kata Luther Kombong, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Kaltim yang turut menjadi pemohon judicial review tersebut. (ANT-188/A041)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011