Robert Koch, dokter dan ahli biologi asal Jerman itu, menemukan bahwa bakteri Mycobacterium tuberculosis adalah agen penyebab penyakit TB.
Namun, sejak penemuan Koch itu, TB tetap saja menjadi beban global yang menginfeksi 10 juta orang baru setiap tahun. Dua per tiganya ditemukan di antara populasi negara-negara G20 dan membunuh lebih dari 4.100 orang setiap hari.
Meskipun bisa dicegah dan diobati, penyakit TB masih mengintai masyarakat. Di Indonesia, pada Tahun 2020 tercatat jumlah kasus TB mencapai 824.000 kasus, sementara jumlah kematian akibat TB mencapai 93.000 kasus setiap tahunnya. Data ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kasus nomor tiga terbanyak di dunia setelah India dan China.
Oleh karena itu, dibutuhkan perhatian besar dan komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, untuk konsisten dalam meniadakan penyakit ini.
Indonesia tampaknya harus berinvestasi lebih cerdas untuk mengalahkan penyakit menular ini dan mengakhirinya pada Tahun 2030.
Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, investasi cerdas yang dibutuhkan adalah meningkatkan jaringan kolaboratif dan kemitraan multilateral, baik skala nasional maupun internasional.
Dengan begitu, diharapkan dapat dikembangkan diagnosa, vaksin, terapi dan sistem surveilans TB yang cukup efektif dan efisien.
Sebagai tuan rumah Presidensi G20, Indonesia mempromosikan penguatan arsitektur kesehatan global dan mengadvokasi layanan TB esensial, di mana negara G20 dapat meningkatkan surveilans TB di antara pasien suspek, kontak dekat dan populasi berisiko tinggi.
Menurut Budi, setidaknya terdapat tiga langkah dalam memerangi TB. Pertama, meningkatkan surveilans TB di antara pasien suspek, kontak dekat dan populasi berisiko tinggi.
Penemuan kasus berbasis risiko dan proaktif untuk pasien TB klinis dan subklinis sangat penting, dengan mendekatkan alat diagnostik ke masyarakat, termasuk melalui x-ray dan teknologi molekuler.
Regimen baru adalah kesempatan untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan, pengobatan yang berpusat pada orang, dan mengurangi efek samping obat.
Ketiga, berinvestasi secara memadai dan berkelanjutan dalam penelitian dan pengembangan vaksin TB yang lebih baik. Diharapkan, vaksin TB yang efektif tersedia pada Tahun 2025, sehingga dunia dapat mengakhiri penyakit menular ini pada Tahun 2030.
Peran posyandu
Dalam rangka mengeliminasi TB, Kementerian Kesehatan RI tengah berupaya meningkatkan peran pos pelayanan terpadu (posyandu), dengan melakukan surveilans TB. Saat ini, layanan posyandu hanya untuk kesehatan ibu dan anak.
Untuk melakukan surveilans TB, minimal harus ada 300.000 titik di seluruh Indonesia. Artinya, surveilans harus dilakukan di level posyandu, karena jumlahnya cukup banyak di Indonesia.
Jumlah posyandu di Indonesia saat ini mencapai sekitar 296.000, sehingga dianggap efektif untuk melakukan surveilans hingga sampai akar rumput, karena dapat menjangkau 512 kabupaten kota, 80 ribu desa.
Surveilans merupakan tindakan promotif dan preventif suatu penyakit agar tidak menyebar lebih luas.
"Yang namanya surveilans penyakit itu, tidak boleh ada insiden, baru kita surveilans. Jadi ada penyakit atau tidak, pandemi atau tidak, harusnya surveilans terus dilakukan," katanya.
Dengan surveilans hingga akar rumput diharapkan dapat membuat masyarakat sehat, sehingga dapat mengurangi upaya kuratif, yakni upaya kesehatan yang dilakukan untuk mencegah penyakit menjadi lebih parah melalui pengobatan.
"Saat ini anggaran kita, waktu kita lebih banyak ngurusin rumah sakit, obat-obatan serta alat-alat rumah sakit. Itu sifatnya kuratif, kami maunya promotif dan preventif," tuturnya.
Selayaknya COVID-19, upaya penanggulangan TB oleh pemerintah akan dilakukan dengan testing dan pelacakan di masyarakat melalui posyandu-posyandu yang tersebar di seluruh Indonesia.
Menkes ingin berbagai praktik baik dalam penanganan dan penanggulangan pandemi COVID-19, bisa diadopsi dalam pengendalian TB.
Indonesia dapat memanfaatkan infrastruktur, alat diagnosis, vaksinasi serta penggunaan teknologi kesehatan pada pandemi COVID-19 untuk diaplikasikan dalam mengeliminasi TB.
"Jadi dengan pandemi ini kita belajar bagaimana bisa memperbaiki penanganan penyakit menular," ucapnya.
Untuk memudahkan proses deteksi, Kemenkes sedianya bakal memberikan alat skrining TB kepada posyandu, berupa rapid test, seperti yang digunakan untuk mengidentifikasi COVID-19.
"Teknologi kesehatan berkembang, dulu kan alat skrining itu labnya harus fisik, sekarang bisa dengan rapid test, seperti tes COVID-19," tuturnya.
Layanan X-ray
Dalam rangka mengeliminasi TB, Kemenkes juga akan memperluas layanan mobile X-ray untuk mengintensifkan pelacakan kasus aktif di masyarakat.
Dibutuhkan dukungan dan kolaborasi dari masyarakat, pemangku kepentingan setempat serta pemerintah agar pelacakan kasus bisa segera ditemukan, sehingga tidak menjadi sumber penularan di tengah masyarakat.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengatakan perluasan skrining bergerak TB menyasar tujuh provinsi, yakni Sumatera Utara, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
Dia mengatakan temuan kasus aktif melalui mobile X-ray dilakukan dengan pemeriksaan menggunakan rontgen dada. Hal ini untuk melihat apakah pasien memiliki indikasi menderita TBC atau tidak.
Apabila teridentifikasi TB, kata Dante, pasien langsung ditangani oleh petugas kesehatan untuk selanjutnya diberikan pengobatan.
Tantangan mengeliminasi TBC di Indonesia memang cukup besar. Apalagi ditambah pandemi COVID-19 yang cukup berpengaruh terhadap pengendalian TB.
Meski demikian, tantangan besar itu bukan sesuatu yang mustahil untuk ditaklukkan. Dengan upaya yang terstruktur dan melibatkan semua pihak, maka eliminasi TB di Indonesia tentunya dapat diwujudkan.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022