belum ditemukan industri gelatin dan kolagen
Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menginisiasi pembentukan konsorsium riset halal di Indonesia pada 2022 untuk memfokuskan hasil riset pada dua topik utama yakni deteksi dan autentikasi halal dan substansi bahan halal.

Konsorsium tersebut akan mendukung upaya mewujudkan Indonesia menjadi pusat industri halal pada 2024, dan mengembangkan industri halal Indonesia di kancah global.

"Saat ini kami sedang menginisiasi konsorsium riset halal di Indonesia khususnya terkait dengan dua target, yaitu pertama terkait identifikasi dan autentikasi kehalalan produk, dan kedua, konsorsium terkait dengan substitusi bahan halal," kata Pelaksana tugas Kepala Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan BRIN Satriyo Krido Wahono dalam kegiatan Sapa Media dengan tema Fasilitas Riset Halal di Jakarta, Jumat.

Konsorsium tersebut ditargetkan menghasilkan produk-produk halal yang bisa masuk ke ranah industri dan masyarakat, dan bersaing di tataran global khususnya terkait dengan segmen industri produk halal.

Selain dua topik utama dalam konsorsium tersebut, Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan BRIN juga memfokuskan riset halal pada pengembangan produk berbasis sumber daya laut yang melimpah di Indonesia.

Baca juga: Riset: Industri halal berpotensi tambah PDB 5,1 miliar dolar per tahun
Baca juga: Wapres harap Madura jadi pelopor riset halal

Satriyo menuturkan sebenarnya sudah banyak riset yang dilakukan oleh perguruan tinggi dan BRIN terkait deteksi dan autentikasi halal, namun masih sangat sporadis sehingga belum ada arah yang jelas ke mana hasil riset-riset tersebut dihilirisasikan dan dikomersialisasikan.

Secara garis besar, beberapa metode deteksi halal yang banyak dikembangkan oleh komunitas riset halal di Indonesia, yakni metode GC-MS untuk mendeteksi alkohol, dan metode RT-PCR sebagai metode standar untuk mendeteksi kandungan babi dalam produk.

"Sebenarnya riset-riset bagaimana mempercepat dan mempermudah deteksi halal itu sudah banyak dilakukan namun arahnya belum jelas dan produk akhirnya itu nanti yang perlu kita sepakati bersama di dalam konsorsium ini," ujarnya.

Satriyo mengatakan konsorsium tersebut diharapkan dapat menghasilkan alat atau metode deteksi halal yang mudah, cepat, dan murah sehingga bisa lebih mudah dan meluas diaplikasikan di masyarakat dan industri.

Baca juga: LIPI optimistis teknologi ddPCR majukan riset bioteknologi
Baca juga: Bio Farma minta PTN perhatikan kehalalan riset vaksin dan obat

Sementara terkait dengan riset substitusi bahan halal yang dilakukan di Indonesia, isu utama yang muncul adalah keraguan kehalalan pada bahan yang digunakan seperti pada gelatin dan kolagen yang banyak digunakan di pasar. Kolagen biasa digunakan untuk industri kosmetik dan gelatin biasa digunakan untuk produk pangan.

Menurut dia, memang ada produk halal gelatin dan kolagen, namun bergantung tinggi pada impor. Padahal sesungguhnya dari hasil riset yang dilakukan komunitas riset halal di Indonesia baik oleh BRIN maupun kampus, banyak sekali bahan potensial untuk menggantikan gelatin dan kolagen tersebut dengan berbasis sumber daya lokal.

Namun, permasalahannya adalah tidak semua hasil riset tersebut sampai ke tahap hilirisasi dan komersialisasi. "Hampir belum ditemukan industri gelatin dan kolagen yang berbasis perusahaan dalam negeri," ujarnya.

Selain isu gelatin dan kolagen, ada isu lain terkait dengan bahan yang diragukan kehalalannya, yang umumnya digunakan untuk produk pangan, antara lain enzim yang digunakan untuk proses fermentasi seperti pada produk susu dan keju.

Kemudian, isu pewarna di mana pada beberapa pewarna, masih ada unsur babi yang digunakan pada basis teknologi untuk mengekstrak atau mengambil warna, serta isu rasa atau aroma.

Baca juga: Unair resmikan pusat riset halal

Baca juga: Halal Watch: sedikitnya riset picu vaksin nonhalal

Baca juga: UII dirikan lembaga riset halal

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022